REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik menyayangkan mandegnya proyek panas bumi (geothermal) di Bali. Padahal, dia menilai proyek tersebut mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan (sustainable development) yang menjadi salah satu agenda dari negara-negara anggota Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). “Saya menyayangkan masyarakat Bali masih menolaknya. Apalagi itu adalah otonomi daerah dan saya tidak bisa memaksa,” ujar Jero dijumpai ROL di Nusa Dua, Bali, Ahad (7/10).
Bali memiliki sejumlah proyek geothermal, terutama di Bedugul, Kabupaten Tabanan. Namun, hal itu sebelumnya mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat dan pemerintah daerah pada masa itu. Lebih lanjut, Jero mengajak masyarakat Bali untuk belajar dari kesuksesan pengembangan geothermal di Jawa Barat.
Pengembangan geothermal di Bali, kata politisi Partai Demokrat ini, akan tetap mengadopsi filosofi Tri Hita Karana. Konsep ini mengedepankan pentingnya menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan alam,dan manusia dengan sesama manusia. Konsep ini bahkan diadopsi oleh negara-negara kawasan Asia Pasifik. “Geothermal tidak merusak lingkungan. Kebutuhan energi di Indonesia terus naik dan pemerintah berkomitmen mengurangi impor minyak,” ujar Jero.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Bedugul berpotensi mengalirkan energi listrik hingga 450 mega watt (MW). Proyek ini merupakan kerja sama antara Pertamina Geothermal Energy (PGE) dengan PT Bali Energy Limited.
PGE sebetulnya sudah mendapatkan hak pengembangan wilayah tersebut sejak 1998, namun masih belum ada pengembangan berarti hingga saat ini. Dari kapasitas total 450 MW, Bali Eenergy baru bisa memanfaatkannya sebesar 175 MW dari tiga sumur operasi, Bel 1, Bel 2, dan Bel 3.