Senin 07 Oct 2013 12:43 WIB

Bank Dunia Minta Indonesia Perbaiki Sistem Fiskal dan Moneter

Rep: Friska Yolandha/ Red: Nidia Zuraya
Bank Dunia
Bank Dunia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Membaiknya perekonomian global membuat pertumbuhan ekonomi di Asia Timur melambat. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan Asia timur di akhir 2013 sebesar 7,1 persen dan lebih rendah di tahun berikutnya, yaitu hanya 7,2 persen.

 

Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Axel van Trotsenburg mengungkapkan meskipun terkoreksi, pertumbuhan ekonomi Asia Timur masih menjadi motor penggerak ekonomi global. "Asia Timur-Pasifik menyumbang 40 persen dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global," ujar van Trotsenburg adlam Ulasan Terbaru Perekonomian Asia Timur- Pasifik, Senin (7/10).

 

Ekonomi global diprediksi akan meningkat di kuartal ketiga 2013. Untuk pertama kalinya dalam 30 tahun ekonomi Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat menunjukkan pertumbuhan positif. Zona Eropa mulai keluar dari resesi berkepanjangan, dan AS mencatat pertumbuhan mencapai 2,5 persen di kuartal kedua 2013.

 

Pertumbuhan Asia Timur mulai melambat karena keputusan Cina yang mengubah orientasi ekonominya dari orientasi ekspor ke permintaan pasar domestik. Hal ini membuat perekonomian negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand ikut melunak. Selain karena Cina, perlambatan juga disebabkan oleh melemahnya laju investasi, harga komoditas yang masih buruk, dan pertumbuhan ekspor yang mash jauh dari harapan.

 

Tanpa Cina, pertumbuhan Asia Timur di 2014 diprediksi sebesar 5,3 persen. Pendorong utama pertumbuhan ekonomi ini adalah permintaan domestik, meskipun Bank Dunia memprediksi akan sedikit melambat. Perlambatan terjadi karena berkurangnya program stimulus dari AS yang mendorong perlambatan investasi. "Di tahun depan akan ada moderasi di kebutuhan domestik," kata Kepala Ekonom Bank Dunia Indonesia Ndiame Diop.

 

Negara berkembang di Asia Timur perlu melakukan penyesuaian fiskal dan keuangan. Khususnya Indonesia, pemerintah perlu melakukan rasionalisasi sistem subsidi. Yang paling terlihat adalah subsidi bahan bakar yang telah dilakukan pemerintah pada pertengahan tahun lalu. Hal serupa juga dilakukan oleh Malaysia dan subsidi beras di Thailand.

 

Di sisi lain, Indonesia perlu menerapkan rezim perdagangan dan investasi yang lebih terbuka serta kepastian peraturan yang lebih baik. Hal ini bertujuan untuk mendorong agar investasi tetap masuk ke Indonesia. Diop menilai Indonesia perlu mendorong investasi di sektor manufaktur, alih-alih komoditas. Pasalnya harga komoditas belum akan membaik dalam dua tahun ke depan sehingga Indonesia tidak bisa terus menggantungkan ekspor hanya dari sektor tersebut.

 

Sebelumnya Bank Dunia merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,3 persen di 2014. Rendahnya pertumbuhan ini disebabkan oleh masih bergejolaknya pasar modal internasional dan buruknya harga komoditas yang akan berpengaruh pada ekspor dan neraca perdaganan Indonesia.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement