REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah disarankan untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara menyusul pencegahan yang dilakukan oleh ditjen imigrasi, Kamis (3/10).
Hal itu disampaikan Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Banten, Ranthy Pancasasti. Menurut Ranthy, pelayanan publik menjadi tidak maksimal setelah pencegahan yang diajukan KPK tersebut. Akibatnya, tugas-tugas Atut sebagai kepala daerah tidak berjalan dengan baik.
Hal itu terbukti ketika peringatan HUT Banten yang tidak dihadiri oleh Atut. Juga, saat peresmian RSUD Banten beberapa waktu lalu. “Kalau gitu pelayanan publik jadi terhambat. Raperda yang harusnya ditandatangani (gubernur) jadi nggak bisa,” ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (7/10) petang.
Menurut Ranthy, cuti itu harus diajukan kepada Mendagri. Cuti di luar tanggungan negara bisa dilakukan selama setahun. Bukan cuti reguler yang hanya bisa maksimal dua belas hari. Dengan cuti di luar tanggungan negara, semua fasilitas negara harus dikembalikan. “Termasuk tidak menerima gaji dari negara,” katanya.
Selain itu, tambah Ranthy, pertumbuhan ekonomi di Banten sendiri juga pasti terganggu. Kebijakan-kebijakan strategis yang mengharuskan kehadiran gubernur jadi terbengkalai.
Ranthy mencontohkan, investasi yang harusnya bisa masuk jadi terhambat. Hal itu mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di Banten jadi tidak jalan. “Dalam jangka panjang itu akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.
Ranthy juga menyarankan, Gubernur Banten fokus pada kasus yang membelit adiknya saat ini. “Jika ingin fokus pada persoalan hukum yang membelitnya, harusnya cuti. Dengan itu, Provinsi Banten bisa menunjuk Plt (Pelaksana Tugas) untuk melaksanakannya."