Ahad 13 Oct 2013 22:15 WIB

ICW Usul Sengketa Pemilukada Tetap di MK

Rep: Ira Sasmita/ Red: Mansyur Faqih
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) nonaktif Akil Mochtar sebelum melakukan tes urine di Gedung KPK, Jakarta, Ahad (6/10).
Foto: Adhi Wicaksono/Republika
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) nonaktif Akil Mochtar sebelum melakukan tes urine di Gedung KPK, Jakarta, Ahad (6/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai wacana penyelesaian sengketa pemilukada dikembalikan kepada Mahkamah Agung (MA) malah hanya menambah masalah baru. Karena MA sebagai institusi peradilan dianggap belum bebas dari korupsi.

Peneliti ICW, Emerson Yuntho mengatakan, berdasarkan kajian Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis TI (Transparency International), tidak ada perubahan signifikan dari 2003 hingga 2010. Sektor politik dan penegak hukum masih menjadi elemen paling dominan sebagai pelaku korupsi.

"Tidak hanya institusi, hakim-hakim di pengadilan tinggi juga tersandung korupsi. Tak hanya hakim agung, tapi juga pegawai pengadilan," kata Emerson di Jakarta, Ahad (13/10).

Misalnya saja, isu suap yang menimpa Hakim Agung Yahya Harahap, Hakim Agung Yamani, serta upaya penyuapan kepada Ketua MA Bagir Manan. Atau indikasi Suap senilai Rp 23,45 miliar kepada lima hakim agung dalam menangani kasus sengketa Pilkada Maluku Utara. 

"Ketika di MK, putusan hari itu diputus bisa langsung dibaca. Kalau di MA, diputus hari ini, setahun atau dua tahun setelahnya, putusannya belum ada juga," ujarnya.

Total tunggakan perkara di MA, menurut Emerson pada akhir 2012 mencapai 381 ribu perkara. Sehingga bila sengketa pemilukada juga diserahkan ke MA, akan menambah beban lembaga tersebut. 

Dari aspek pengawasan, MA juga dinilai masih lemah. Jumlah laporan hakim yang masuk ke Komisi Yudisial pada 2011 mencapai 1.658 terkait hakim nakal. Penyelesaiannya pun hanya sekedar kode etik, dan cenderung lama serta berlarut-larut.

ICW pun merekomendasikan penyelesaian sengketa pemilukada tetap dilakukan di MK. Tetapi, sistem rekrutmen dan pengawasan di MK harus dibenahi.

"MK itu ternyata tidak punya biro pengawas internal. Keblinger kalau MK menolak diawasi pengawas internal. Pengawasan bukan hanya untuk hakim, tetapi untuk semua pengawai MK," ujar dia.

Proses rekrutmen hakim MK, menurut Emerson juga harus diubah. Sebagai bagian dari trias politika, kecenderungan pemilihan hakim MK dinilai tidak sehat. 

Wakil pemerintah dari parpol seolah sengaja dimuluskan menjadi hakim konstitusi. Misalnya penunjukkanPatrialis Akbar yang diduga untuk mengamankan kepentingan pemilu 2014 oleh pihak tertentu. Begitu pula pemilihan Akil Mochtar sebagai ketua MK yang sudah diragukan kredibilitas dan integritasnya saat menjabat sebagai anggota DPR.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement