REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Yusuf Mansur
Nabi Ibrahim termasuk yang kehidupannya, kehidupan keluarganya, dan perjalanan memiliki anak keturunannya dikisahkan dalam al Qur’an.
Keberkahan, shalawat, serta salam, tercurah untuk Nabi Ibrahim, keluarga dan anak keturunannya, sebagaimana selalu kita sebut di dalam tahiyyat akhir di dalam shalat.
Dan semoga kita bisa bertemu juga dengan Nabi Ibrahim dan para nabi, dan tentu saja dengan Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul.
Secuplik kisah pengorbanan Nabi Ibrahim yang membenarkan wahyu Allah, Tuhannya, lewat mimpi, dan dukungan dari istrinya, Siti Hajar, dan juga tokoh sentral, Nabi Ismail, yang disebut Allah sebagai ghulam haliim, anak yang sangat sabar (Qs. 37: 101), sarat hikmah buat kita semua.
Perjalanan Nabi Ibrahim memiliki anak keturunan, bolehlah ditadabburi sebagai perjalanan kita, menuju hajat kita, keinginan kita, doa kita.
Banyak di antara kita yang menginginkan sesuatu atau banyak hal di dunia ini, tapi tidak melangkah ke Allah. Sehingga urusan dunia, menjadi bernilai dunia saja. Tidak lebih.
Banyak yang sia-sia, bahkan tidak sedikit malah yang menjadi dosa, sebab menjadi keluhan, bukan doa, dan menjadi perbuatan dosa, maksiat dan melanggar perintah Allah.
Nabi Ibrahim membawa keinginannya memiliki anak keturunan, menjadi perjalanan ibadah dan doa. “Dan Nabi Ibrahim berkata aku akan pergi menghadap Tuhanku, niscaya Dia akan memberikanku petunjuk. Ya Tuhanku anugerahkanlah aku seorang anak yang termasuk golongan orang-orang yang saleh.” (Qs. 37: 99-100).
Maka begitula seharusnya kita semua. Keinginan apapun di dunia ini, mestinya menjadi juga perjalanan ibadah dan doa. Bukan sekadar keinginan dan pencarian belaka, yang akhirnya banyak membuat lupa dan lalai.
Banyak orang yang menghendaki kekayaan, rumah, uang, jabatan, kemudahan hidup, yang direpresentatifkan lewat kisah perjalanan Nabi Ibrahim mendapatkan anak keturunan, bukan dengan berjalan menuju Allah seperti yang dicontohkan Nabi Ibrahim.
Melainkan malah menuju syetan, bahkan berkawan dan meminta bantuan syetan. Baik dengan pengertian hakiki maupun sifat, sikap dan perbuatannya. Salah jalan, begitu kita bilang.
Banyak di antara kawan kita, yang seharusnya keinginan, hajat, menjadi ibadah dan doa, penuh dengan kesenangan yang panjang lagi abadi, akhirnya berbuah kenestapaan, hilangnya kehormatan, kemuliaan, harga diri, rasa malu, dan penderitaan.
Pengen kerja, bukannya ke Allah, malah nyogok. Kerjaan bisa jadi ia dapatkan. Tapi seumur hidup ia makan rizki haram. Pengen dapet proyek, kudu setor dulu sekian puluh persen, di muka. Akhirnya proyek didapat, tapi malah berhutang sana-sini.
Pengen untung, tapi merugikan orang. Akhirnya, malah buntung. Pengen rumah, mobil, dan semua yang di dunia, yang sejatinya lebih banyak yang dihalalkannya daripada yang diharamkan, malah kemudian terlempar dari apa yang dipegangnya.
Dunianya menjadi bara api baginya. Sebab bukan diraih bersama Allah, dengan cara-cara Allah, tapi justru dengan melupakan dan menjauhi-Nya.
Tidak sedikit di antara kita yang menjadi munafik. Kelihatan saleh salehah, bermuka bersih, penuh tata krama dan kemuliaan, hingga kemudian Allah menampakkan wujud aslinya.
Selamat hari raya kurban. Banyak betul yang bisa kita petik hikmahnya. Termasuk meneladani Kisah Nabi Ibrahim ingin memiliki anak keturunan, yang berjalan menuju Allah, beribadah, dan membawanya menjadi doa.
Hingga kemudian, saat ketika beliau akhirnya sudah mendapatkan Nabi Ismail dan menikmatinya, malahan Allah minta. Ketaatan, keikhlasan, keridhaan, kesabaran keluarga ini, sungguh diperlukan untuk membangun Indonesia, dan mental, akhlak, perilaku, semua rakyatnya. Salam.