REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar mengatakan, Perppu merupakan hak konstitusional Presiden berdasarkan Pasal 22, ayat 1 UUD 1945. Untuk menafsirkan sebuah keadaan genting juga merupakan hak subjektif Presiden, lembaga negara lain tidak boleh ikut campur.
Begitu Perppu diundangkan, ujar Patrialis, maka sejajar dengan undang-undang. Masa berlaku Perppu juga tergantung DPR, kalau DPR setuju maka segera menjadi undang-undang kalau DPR tidak setuju maka harus dicabut melalui undang-undang pula.
"MK tentu tidak bisa memberikan komentar terhadap isi Perppu itu. Begitu diundangkan, MK harus tunduk terhadap Perppu tersebut, makanya terserah nanti bagaimana DPR setuju atau tidak," kata Patrialis, Jumat, (18/10).
MK, ujar Patrialis, menyerahkan sepenuhnya Perppu tersebut kepada Presiden dan DPR untuk dibahas lebih lanjut. "Kami hanya melaksanakan isi Perppu tersebut sebab MK juga harus patuh terhadap hukum," ujarnya.
Kalau ada masyarakat yang keberatan dengan Perppu itu, terang Patrialis, silakan menempuh jalur hukum, dengan meminta DPR untuk melakukan legislatif review atau ke MK untuk meminta dilakukan uji materil. "Selama tidak ada pihak yang mengajukan judicial review, maka MK tidak berhak melakukan judicial review sendiri. MK tidak boleh pro aktif namun hanya pasif menunggu dan tidak boleh berinisiatif membatalkan," kata Patrialis.
Isi Perppu itu, ujar Patrialis, tidak ada aturan bahwa Komisi Yudisial (KY) harus mengawasi MK. Namun di Perppu hanya menyebutkan KY membentuk panel yang terdiri dari berbagai kelompok di masyarakat untuk membentuk Majelis Kehormatan Hakim MK. "Jadi masyarakat yang mengawasi MK, bukan KY," ujarnya.