REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diterbitkannya Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menuai kontra dari sejumlah kalangan di parlemen. Namun, mantan staf ahli Mahkamah Konstitusi (MK), Refly Harun mengaku tidak melihat adanya masalah substantif dalam perppu tersebut.
"Kalau ada yang menolak, mereka mestinya harus bisa menyebutkan apa dampak buruk diterbitkannya perppu ini," kata Refly di Jakarta, Sabtu (19/10).
Ia menjelaskan, membuat perppu adalah hak subjektif presiden. Hal ini bahkan juga telah dinyatakan dalam produk aturan dan perundang-undangan yang berhubungan dengan MK sendiri. Hanya, hak objektivikasi atas perppu yang dikeluarkan presiden tersebut tetap ada di DPR.
"Jadi, ada check and balance di sini. Ketika hak subjektif kepala negara itu berjalan, maka objektivikasinya ada di parlemen," tuturnya.
Karena itu, kata dia, DPR berhak menolak atau menerima perppu yang diterbitkan SBY. Bahkan, tidak menutup peluang pula jika perppu tersebut diujimaterikan lagi ke MK nantinya.
Namun, ia mengingatkan, bila ternyata DPR menolak alias tidak mengafirmasi perppu tersebut, konsekuensinya adalah tidak akan ada perubahan pada MK.
"Karena itu, saya ingin sampaikan pada Anda semua, masalah substantif di perppu ini harusnya lebih diutamakan, alih-alih memperdebatkan berbagai persoalan yang bersifat prosedural," ujarnya.