REPUBLIKA.CO.ID,.JAKARTA--Pakar Demografi dari Universitas Indonesia Sony Harry B Harmadi menilai politik dinasti yang berkembang di Indonesia sangat rawan menjadi kartel.
"Kalau politik dinasti menjadi kartel maka akan merugikan banyak orang. Padahal politik dinasti sangat dekat dengan kartel," kata Sony Harry B Harmadi pada diskusi "Pilar Negara: Pemerintah Daerah Bersih Sesuai dengan Empat Pilar" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin.
Pembicara lainnya pada diskusi tersebut Ketua Komisi II DPR RI Agun Gunanjar Sudarsa dan pengamat politik dari Mathlaul Anwar Banten Ali Nurdin.
Menurut Sony, dalam sistem politik yang diterapkan di Indonesia saat ini hanya orang-orang tertentu yang memiliki banyak uang yang bisa menjadi pimpinan, baik kepala daerah maupun pejabat publik lainnya.
"Karena hanya sedikit orang yang memiliki banyak uang, maka pimpinan partai politik mencari orang yang memiliki banyak uang atau keluarganya untuk diusung sebagai calon pemimpin," katanya.
Dalam konteks ini, menurut dia, partai politik lebih mempertimbangkan faktor uang daripada faktor kapasitas dan integritas, sehingga memunculkan politik dinasti.
Sony menilai, politik dinasti ini sangat dekat dengan kartel karena berupaya mengkapitalisasi uang untuk kepentingan menggolkan calon yang diusung sebagai pemimpin.
Ia mencontohkan, dalam membangun usaha seseorang mencari orang yang dipercaya untuk menjalankan usahanya atau membesarkan usahanya.
"Orang kepercayaan tersebut berada di lingkungan keluarga. Dalam konteks politik, maka anggota keluarga yang dipercaya untuk diusung menjadi pemimpin, termasuk kepala daerah," katanya.
Sony menilai, politik dinasti sangat dekat dengan kartel yang akan merugikan masyarakat.
Karena, kata dia, keluarga yang menjadi kepala daerah setelah mengeluarkan uang banyak, tentu akan berusaha mengumpulkannya lagi. "Padahal dana yang dikumpulkan bersumber dari APBD yang merupakan dana negara, sehingga terjadi praktik korupsi," katanya.
Sony mengusulkan perlu perbaikan sistem politik yang berbasis pada penegakan etika.