REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Prosesi pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro pada hari pertama diakhiri dengan upacara midodareni, Senin malam (21/10).
Midodareni berasal dari kata dasar widodari yang berarti bidadari yaitu putri dari surga yang sangat cantik dan sangat harum baunya.
Sehingga Midodareni diartikan sebagai malam terakhir masa lajang bagi kedua calon mempelai. Di sini, kedua calon mempelai akan ditemani teman-teman dan kerabatnya.
"Makna Midodareni sendiri adalah untuk menyucikan diri dan menyiapkan mental untuk acara pernikahan," kata Ketua Panitia Prosesi Pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro.
Sebelumnya, Sultan Hamengku Buwono X melakukan kunjungan ke Bangsal Ksatriyan untuk mengecek kamar KPH Notonegoro yang digunakan untuk nyantri dan bermalam keluarga calon besan.
Pada kesempatan ini Sultan HB X dan permaisuri sempat berbincang-bincang dengan ayah dan ibu KPH Notonegoro. Pada kesempatan ini KPH Notnonegoro mengambil sekuntum mawar biru yang ada di vas Bangsal Kasatriyan kemudian dititipkan kepada calon mertua Sultan HB X untuk diserahkan kepada calon istrinya GKR Hayu.
Sultan HB X pun langsung menerima sekuntum mawar biru sambil tersenyum. Setelah berbincang-bincang sejenak, Sultan HB X dan permaisuri berpamitan kepada calon besannya.
Selanjutnya Sultan mengecek persiapan di beberapa tempat di Kraton Yogyakarta yang akan digunakan untuk upacara akad nikah dan panggih, Selasa (22/10).
Selanjutnya Sultan HB X menuju Bangsal Sekar kedhaton sebentar melihat kesiapan dari calon pengantin putri. Kemudian Sultan HB X menuju Kedaton dan upacara Midodarenipun selesai.
Namun pada malam Midodareni, calon mempelai putri harus tidur setelah jam 24.00 WIB untuk menanti datangnya bidadari. Bidadari ini akan menganugerahkan kecantikan kepada sang calon mempelai.