REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia peradilan Indonesia terguncang dengan terkuaknya kasus dugaan korupsi. Penangkapan dan penetapan Akil Mochtar sebagai tersangka menjadi tamparan besar bagi Mahkamah Konstitusi (MK).
Tak hanya itu, muncul indikasi adanya hakim Mahkamah Agung (MA) yang meminta dana untuk pengurusan kasasi. Pakar Hukum Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf menilai, andai terbukti terjadi korupsi di lembaga peradilan, maka kejahatan kerah putih itu sudah paripurna.
"Menyempurnakan keparahan korupsi di Indonesia," kata dia, saat dihubungi Republika, Selasa (22/10). Asep mengatakan, peradilan yang bebas merupakan ciri negara hukum. Ketika lembaga itu sudah digerogoti korupsi, ia menilai, menjadi bencana bagi negara ini.
Ia mengatakan, adanya kasus korupsi di lembaga peradilan bisa semakin menyurutkan kepercayaan publik. "Pasti akan ada keadaan di mana sudah tidak dipercaya lagi," kata dia.
Menurut Asep, potensi terjadi korupsi di lembaga peradilan karena lemahnya pengawasan. Ia juga menyebut sistem yang ada bisa menjadi lubang untuk membuka celah terjadinya tindak pidana itu.
Sehingga, ia mengatakan, orang yang berkuasa bisa dengan leluasa menyalahgunakan kewenangannya. Namun, ia paling menyoroti terjadinya korupsi ini karena faktor integritas dan moral.
Asep mengatakan, sistem dan pengawasan bisa jadi masih lemah. Akan tetapi, menurut dia, jika integritas dan moral terjaga, maka korupsi bisa dihindarkan. Ia mengatakan, faktor itu yang saat ini melanda pejabat publik di Indonesia. "Sangat sempurna semua lapisan jabatan bisa terkait korupsi. Mengerikan," kata dia.
Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (21/10), Staf Kepaniteraan MA Suprapto mengungkap adanya permintaan uang dari hakim agung untuk mengurus kasasi.
Suprapto mengaku merupakan staf salah satu hakim yang menangani kasasi perkara pidana atas nama Hutomo Wijaya Ongowarsito. Ia menyebut, permintaan dana itu sekitar Rp 300 juta.
Namun, ia mengatakan, uang tersebut belum sampai di tangan hakim. Suprapto mengaku diminta tolong oleh Djodi Supratman, staf Pusdiklat MA, untuk membantu pengurusan kasasi. Dalam surat dakwaan, Djodi disebut diminta bantuan oleh Mario C Bernardo, pengacara di kantor hukum Hotma Sitompoel and Associates.
Melihat kasus-kasus dugaan korupsi belakangan ini yang menyeret nama hakim, Asep menilai, terbuka kemungkinan ada keterlibatan hakim lain. Karena ia mengatakan, putusan hakim bersifat kolektif. Sehingga, menurut dia, bisa jadi terjadi negosiasi antara satu hakim dengan hakim lainnya.
"Terbuka peluang itu. Jadi sebelum diputus saling menggoda," kata dia.