Rabu 23 Oct 2013 12:35 WIB

Membangun Bangsa Sadar Bencana

Rep: Ichsan Emrald Alamsyah/ Red: Hafidz Muftisany
Murid sekolah membantu mengobati temannya yang terluka saat simulai gempa dan tsunami yang digelar mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah)
Foto: Antara/Ampelsa
Murid sekolah membantu mengobati temannya yang terluka saat simulai gempa dan tsunami yang digelar mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Wartawan Republika Ichsan Emrald Alamsyah

Berapa kali anda merasakan gempa dalam sehari? 'Ah tidak ada, perasaan saya' mungkin begitu jawab anda. Kalau anda berada di DKI Jakarta dan sekitarnya, mungkin akan menjawab seperti di atas.

Namun mungkin berbeda bagi anda yang tinggal di selatan Jawa, Sumatra atau Indonesia Timur. Tak hanya guncangan, bahkan rakyat provinsi Nangroe Aceh Darussalam pernah merasakan kengerian Tsunami.

Kalimantan, tak berada di jalur sabuk cincin api pasifik, seperti Sumatera, Jawa dan Papua. Hanya saja, ancaman banjir dan kebakaran hutan bisa datang silih berganti seiring pergantian musim.

Satu hal yang menjadi pertanyaan siapkah anda ketika terjadi bencana ? Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), memiliki data jumlah kejadian dan korban antara tahun 1815 hingga 2013. Berdasarkan data itu jumlah korban terbanyak adalah gempa bumi disertai tsunami, yaitu 167.768 jiwa.

Terbanyak kedua adalah letusan gunung berapi sebanyak 68 ribu korban tewas. Namun, bencana lain tidaklah, ambil contoh banjir yang jumlah korban hingga 18.687 orang.

Awal Maret 2013, Republika sempat menelusuri Kota Padang, Sumatera Barat. Warga Kota Padang, pernah merasakan kegetiran akibat bencana alam. 30 September 2009, gempa dahsyat hingga 7,6 skala ritcher terjadi di wilayah Sumatera Barat.

Kini, Kota Padang telah banyak berbenah. Karena berada di lokasi rawan bencana, anda akan dengan mudah melihat rambu-rambu jalur evakuasi dan tempat berkumpul.

Memang di beberapa lokasi masih terlihat bangunan yang kembali dipugar. Contohnya, Hotel Ambacang yang seakan menjadi monumen kengerian bencana gempa. Namun kehidupan masyarakat kota tampak terus berlanjut.

Menurut seorang warga, Hasan Effendy (35 tahun) tak sampai dua bulan aktivitas kota telah berdenyut selepas gempa. Menurut dia yang juga pedagang di pasar Jalan Permindo, sebenarnya orang Minang telah terbiasa dengan guncangan gempa.

Mulai dari  guncangan kecil hingga getaran sebesar gempa 2009 telah mereka lewati. Hal ini yang menurut dia membuat kadang masyarakat alpa. Sekarang, berdasarkan kengerian gempa empat tahun lalu, ia yakin masyarakat pastilah lebih waspada. Akan tetapi soal kesadaran, ia menggelengkan kepala.

Begitu juga yang diucapkan, warga Padang lainnya, Vanessa Nadia Olastri. Warga serta Pemerintah Kota Padang pastilah lebih waspada.

Pemerintah kota telah menjalankan program simulasi bagi siswa, pemasangan tanda jalur evakuasi dan berkumpul, hingga pemberitahuan melalui media televisi dan radio jika terjadi bencana.Pengetahuan dia terkait gempa serta tsunami pun kini lebih meningkat.

Namun, apakah sudah sadar dan terbiasa, ia menjawab belum tentu. Karena, Hal ini terbukti, dari gempa akhir tahun kemarin. Sebagian warga masih terlihat panik dan teringat kembali dengan gempa dahsyat di 2009.

Artinya, ungkap dia, warga sudah terbiasa, namun belum sadar dan siap menghadapi bencana. Apalagi ada salah satu sikap yang menurut dia harus di hindari ketika terjadi bencana. Sikap itu adalah pasrah.

Lucunya, ketika terjadi gempa pada 2009,ia justru mempraktekan sikap pasrah itu. Ia ingat betul, 30 September 2009, ia mengendarai mobilnya melewati Pantai Padang. Ketika gempa terjadi, pada pukul 17.15 WIB, ia merasakan guncangan hebat tersebut. Akan tetapi, ia malah berpikir mengalami 'pecah ban'.

Hanya saja ia melihat para penjual makanan di pinggir pantai lari melewati mobilnya. Ia pun sadar guncangan barusan adalah gempa bumi.Ia juga melihat debu-debu berterbangan akibat bangunan yang hancur di sepanjang jalan pinggir pantai.

Gadis berusia 23 tahun ini bukannya lari ke tempat tinggi, malah kembali masuk ke dalam mobil.''Pasrah waktu itu, kalau ada tsunami di dalam mobil mungkin ngambang,'' tutur dia sambil tertawa kepada Republika.

Pendidikan Sadar Bencana

Berbagai bencana, seperti tsunami Aceh, Gempa Padang, Letusan Gunung Berapi, hingga jebolnya tanggul Situ Gitung, datang silih berganti. Hal ini pun membuat masyarakat Indonesia mulai memiliki pengetahuan cukup tentang bahaya bencana. Pun juga pengetahuan untuk mengantisipasi jika bahaya datang.

Hal tersebut berdasarkan penelitian BNPB tahun 2012. Ambil contoh tsunami, karena sebelum bencana itu melanda Aceh, jarang orang Indonesia yang mengenal kata itu.

Sayangnya, menurut Kepala Humas Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho,  kesiagaan orang Indonesia menghadapi bencana sangatlah rendah. Oleh karena itu sangatlah penting bagi bangsa ini untuk membudayakan sadar bencana.Salah satu caranya, menurut dia adalah dengan pendidikan sadar bencana.Hal ini karena Pendidikan sadar bencana akan membentuk karakter dan pengetahuan bencana.

Tak hanya itu, pendidikan juga meningkatkan pemahaman terkait bencana dan antisipasinya. ''Soal panik saat bencana itu universal. 3 hari x 24 jam adalah panic period ketika bencana,'' tutur dia kepada Republika.

Pendidikan tersebut, tutur dia sepatutnya dilakukan sejak usia dini sampai akhir hayat, baik pendidikan formal dan non formal.Pendidikan sadar bencana tak perlu dibuat menjadi satu mata pelajaran khusus. Akan tetapi di selipkan pada mata pelajaran lain, seperti Geografi, IPA, IPS, dan lain sebagainya.

Khusus di daerah rawan bencana, menurut dia, pendidikan itu bisa berupa muatan lokal tergantung jenis bencana. Namun, tak hanya rawan bencana pendidikan sadar bencana harus diterapkan di semua daerah. Pendidikan ini tentu sesuai dengan ancaman bencana masing-masing daerah.

Seperti siswa di Pulau kalimantan, maka tak perlu belajar penanganan gempa, tsunami dan erupsi gunung berapi. Tetapi sekolah perlu menerapkan pendidikan waspada banjir dan kebakaran hutan.

Satu hal yang sangat penting, menurut dia, adalah gladi atau simulasi. Tentu saja hal ini agar siswa mengerti dan paham pendidikan itu. Salah satu negara yang menerapkan pendidikan sadar bencana adalah Jepang

Negeri Sakura telah melakukan pendidikan bencana sejak dini. Semua kehidupan selalu dikaitkan dengan bencana sehingga masyarakat siap.

Di tempat berbeda, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemendikbud, Ibnu Hamad menyatakan pendidikan sadar bencana telah diterapkan sesuai dengan daerah masing-masing.Meski ia mengakui, pendidikan ini baru saja diterapkan pasca bencana tsunami Aceh dan gempa besar di Padang.

Pendidikan sadar bencana, ungkap dia memang tak dibuatkan kurikulum alias mata pelajaran sendiri.

Namun justru masuk ke dalam tiap mata pelajaran, seperti PPKN, IPA dan muatan lokal. Apalagi dalam strategi kurikulum 2013, pendidikan diberikan berdasarkan tema bukan mata pelajaran. Sehingga terkait dengan sosial dan lingkungan.

Seperti contohnya simulasi terjadi gempa atau bahaya tsunami. Akan tetapi di daerah lain, misalnya Jakarta, siswa bisa diajarkan mengenai cara menanggulangi bahaya banjir.

Belajar dari Jepang

Mendengar kata gempa, negara yang pertama kali terpikir tentu saja Jepang. Tak hanya gempa, Jepang juga negara dengan potensi tinggi tsunami dan angin topan. Hal inilah yang akhirnya membuat mereka belajar, bahwa bahaya berada di depan mata.

Warga Negara Indonesia, Wiwie Tanuwinatamerasakan benar bagaimana bangsa Jepang menciptakan budaya sadar bencana.

Ketika baru menikah dengan warga negara Jepang, Wiwie memang sempat berpindah-pindah negara. Maklum sang suami bekerja sebagai diplomat negeri Sakura.

Akan tetapi hampir sembilan tahun terakhir, ia menetap di Fuchu, Tokyo. Soal gempa bumi (Jishin) hal itu seakan-akan sudah menjadi kebiasaan. '' Aaa jishiin da (Eh Ada gempa ) kami terbiasa langsung melihat televisi untuk tahu info pusat gempa dan besarnya skala gempa,'' tutur dia kepada Republika.

Meski ketika awal pindah Ke Jepang mengaku sempat ketakutan, namun cara Pemerintah menjaga warga Jepang, membuat ia merasa aman. Begitu ia pindah ke Fuchu, petugas kelurahan langsung meminta data diri serta bermacam terkait keadaan darurat.

 

Mulai dari jadwal latihan bencana (Kunren), arah evakuasi dan lain-lain. Sehingga ia merasakan benar fungsi dari Kelurahan di Jepang.Terkait latihan, Jepang ternyata menerapkan berbagai tingkat latihan, mulai dari latihan tingkat daerah hingga per flat. Karena ia tinggal di flat, maka ikut wajib ikut latihan yang diselenggarakan tiga bulan sekali. Latihan ini tak hanya terkait gempa, namun juga bencana kebakaran.

Tak hanya itu, petugas pun rutin mengecek alat penyelamat seperti tangga darurat dan alarm jika terjadi kebakaran. ''Kalau terjadi kebakaran, saat latihan kita tak boleh lari di tangga itu,'' tutur dia menjelaskan.

Selain itu stasiun televisi, ia bisa menyaksikan NIH, tak hanya menampilkan hiburan semata. Mereka juga cepat menampilkan berita jika terjadi gempa, mulai dari kekuatan dan kemungkinan gempa susulan. Sekali lagi tak hanya gempa, namun juga bencana lain seperti angin topan.

Namu, ia merasakan benar jika ternyata pendidikan sadar bencana telah tertanam sejak dini. Ketika, ia mendaftarkan sang putri ke Taman Kanak-Kanak, maka juga harus siap dengan peralatan penyelamatan seperti topi anti benturan. Selain itu sekolah juga memperlihatkan wilayah bagi anak-anak untuk menyelamatkan diri.

Orang tua juga harus memberi tahu sekolah alamat email serta nomor kontak mereka atau saudara terdekat. Karena jika terjadi gempa lebih dari 5 skala ritcher, sekolah langsung memberi info mengenai keadaan serta lokasi penjemputan. Begitu juga jika terjadi bahaya lain seperti angin topan.

Seperti terjadi beberapa pekan kemarin, sang putri, Aimi terpaksa libur satu hari akibat angin kencang. Sekolah akan memberi tahu, jika antara pukul satu hingga tujuh pagi, maka anak belum boleh diizinkan sekolah. Akan tetapi jika lebih dari pukul 10 masih terjadi angin ribut ataupun gempa, maka anak akan diliburkan.

Sadar Membangun

Tak salah jika disebut sejatinya bangsa Indonesia sadar dengan bencana. Hal ini diungkapkan Direktur Tim Perencana Arsitektur (TPA) Universitas Muhammadiyah Surakarta, MS Priyono Nugroho. Ia mengatakan sebenarnya nenek moyang bangsa Indonesia mendesain tempat tinggal yang lebih arif terhadap lingkungan.

Sehingga bangunan tradisional, ucap dia, lebih tahan terhadap kondisi alam, semisal gempa. Selain itu, bangunan juga dibuat lebih tinggi agar tak terkena banjir.

Hanya saja dalam proses peralihan dari bangunan tradisional ke modern, tak diikuti kesadaran masyarakat akan bahaya bencana alam. Tak heran, misalnya ketika terjadi gempa di Tasikmalaya yang menjalar ke wilayah Kabupaten Bandung, banyak bangunan yang hancur.

Seperti di wilayah Pengalengan banyak bangunan bertingkat yang ternyata luluh lantak tak kuat menahan goncangan. Ternyata, hal itu terjadi karena bangunan tersebut tak memiliki pondasi yang kuat.

Padahal seharusnya, seperti halnya orang-orang zaman dulu, salah satu pijakan penting adalah membangun pondasi yang kuat tertanam ke dalam tanah. Tentu tak melupakan pentingnya membangun di atas tanah yang stabil.

Tak hanya itu, desain bangunan juga sebaiknya sesuai dengan standar yang telah diterapkan atau SNI. Hal ini juga berlaku bagi pembangunan komersil atau fasilitas umum.

Karena kadang, bangunan yang dianggap tahan gempa menjadi beban dalam hal biaya. Sehingga dalam proses perencanaan, angka keamanan di tekan untuk mencari untung. Sehingga yang terjadi adalah umur bangunan pendek atau mudah rusak terkena guncangan.

Ia tak memberi banyak saran, karena sebenarnya pemerintah telah mengatur standar bangunan atau dikenal dengan SNI. Maka sebaiknya pendirian suatu bangunan harus berdasarkan standar yang ada.Kemudian bagi masyarakat awam yang tak mengerti mengenai standar bangunan tahan gempa, ada baiknya berkonsultasi dengan yang ahli.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement