REPUBLIKA.CO.ID, PADALARANG -- Dinamisnya permasalahan sosial membuat Kementerian Sosial (Kemensos) RI membutuhkan seperangkat sistem dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional di bidang pekerjaan sosial.
Menjawab tantangan tersebut, salah satunya Kemensos mengadakan pencanangan Praktik Mandiri Pekerja Sosial di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) di Bandung, yakni dengan menekankan pentingnya profesionalisme pekerjaan sosial melalui pendidikan dan regulasi sistem.
Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri mengatakan, praktik mandiri pekerja sosial di STKS, mampu menjadi jalan keluar dalam mengatasi permasalahan sosial yang kian dinamis itu.
"Permasalahan sosial yang dinamis membutuhkan regulasi sistem dan SDM profesional di bidang pekerjaan sosial," kata Salim, Rabu (23/10), dalam acara pembukaan International Conference on Social Work (ICSW) 2013, di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.
Selama ini sebagai contoh, ungkap Salim, pelayanan sosial di panti asuhan belum maksimal dilakukan. Hal ini, kata dia, contohnya masih terjadi ketimpangan dan banyaknya permasalahan perlindungan anak yang tidak ditangani dengan baik.
Penyebab masalah itu, ialah karena ketiadaan sistem pekerja sosial yang baik pula. "Para pegiat pekerjaan sosial, pemerintah dan berbagai pihak terkait, berupaya membuat regulasi sistem pekerjaan sosial yang didukung lembaga atau institusi pendidikan," ucapnya.
Untuk mendorong tumbuhnya profesi pekerjaan sosial di Indonesia tersebut, maka Kemensos menyatakan, perlunya dukungan lembaga pendidikan pekerjaan sosial, Asosiasi Pekerja Sosial, dan kode etik serta regulasinya.
Salim mengungkapkan, pada 2007 berbagai komunitas pekerjaan sosial di Indonesia, tumbuh subur. Hal itu sebagai upaya, agar profesi pekerjaan sosial bisa memberikan pelayanan terbaiknya, yaitu dengan menyempurnakan perangkat dan berbagai regulasi.
Kemensos menyebut, ICSW ini sebagai ajang berbagi pengalaman penanganan sosial. Oleh karena itu, tegas Salim, maka untuk mewujudkannya dibutuhkan sistem dan SDM pekerjaan sosial profesional.
Ia melanjutkan, saat ini, Kemensos mencatat lebih kurangnya ada sebanyak 15 ribu pekerja sosial. Sebelas ribu pekerja di antaranya, dihasilkan STKS di Bandung. Sementara itu di sisi lain, di seluruh Indonesia ada 37 Lembaga Pendidikan Pekerjaan Sosial (LPPS) di bawah naungan Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia (IPPSI), yang berdiri pada 1986.
Dalam Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2009, tentang Kesejahteraan Sosial, secara eksplisit ia menjelaskan, pengakuan Pekerja Sosial sebagai 'leading profession' dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia, juga ditetapkannya UU Nomor 13 tahun 2011, tentang Penanganan Fakir Miskin dan UU nomor 11 tahun 2012, tentang Sistem Peradilan Anak menjadi payung hukum penyediaan SDM pekerja sosial profesional.
Salim menerangkan, melalui forum ICSW ini, peran Indonesia bisa mempelajari berbagai perkembangan praktik pekerjaan sosial di berbagai negara, untuk memperkuat dan mengembangkan infrastruktur pendukungnya.
Hal ini meliputi, sistem pendidikan dan pelatihan, asosiasi dan lembaga pekerja sosial, sistem sertifikasi, dan kebijakan terkait praktik pekerjaan sosial. Serta tak luput, sistem praktik pekerjaan sosial itu sendiri.
"ICSW berguna sebagai sarana benchmaking untuk memperkuat pekerjaan sosial di Tanah Air," ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, konferensi seperti ini juga bisa mengidentifikasi kemajuan yang telah dicapai dalam perkembangan sistem pekerjaan sosial, yang di dalamnya melalui berbagai pengalaman dengan beberapa negara-negara, seperti Asean, Australia, dan Jepang.
Negara Australia dan Jepang pun, ia menerangkan, telah menjalin kerjasama dengan pemerintah Indonesia melalui Kemensos RI, yang tertuang dalam Nota Kesepahaman (MoU) tingkat perguruan tinggi di bidang pekerjaan sosial.
Sedikit terkait IPSPI, Salim memaparkan, ikatan itu telah menjadi wadah para pekerja sosial sejak 1988. Anggotanya pun sebanyak 800 orang.
Meskipun jumlah anggota IPSPI belum sebanding dengan lulusan pendidikan tinggi pekerjaan sosial, namun teridentifikasinya 800 anggota tersebut, jelasnya, adalah sebuah langkah yang maju.
"Pada masa-masa awal, ikatan ini merupakan organisasi yang tidak banyak menarik dan melibatkan para anggotanya," tuturnya.
Keberadaan IPSPI, tambah Salim, ternyata tidak hanya menjadi wadah dan pelindung bagi pekerja sosial, tetapi juga sebagai fasilitator berbagai kegiatan, termasuk di dalamnya rekomendasi pengurusan sertifikasi dan lisensi.
"Namun, masih dibutuhkan upaya guna memastikan kepercayaan dan keterikatan anggota melalui lembaga tersebut," imbuhnya optimistis, ICSW mampu menjawab tantangan sosial itu.