REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Refly Harun berpendapat, Ketua MK nonaktif, Akil Mochtar sulit melepaskan diri dari perkara hukum dengan tiga kasus dugaan korupsi yang menjeratnya.
"Belakangan kan ada surat perintah penyidikan yang baru, sehingga ada tiga kasus yang menjerat Pak Akil, yakni (dugaan suap) Gunung Mas, Lebak, dan gratifikasi. Bisa saja nanti kena pasal tindak pidana pencucian uang. Kondisi seperti ini sulit bagi AM untuk lepas, ibarat dia masuk kandang, dia susah lepas 'kandang' KPK," ujar Refly Harun di Jakarta, Jumat (25/10).
Refly mengatakan, jika berbicara teori konspirasi, pilihan Akil Mochtar saat ini adalah menguak kemungkinan keterlibatan pihak-pihak lain atau tetap berdiam diri atas kasus korupsi yang melibatkannya.
"Kalau dia keep silent, kompensasi apa yang dia dapatkan. Kalau dia tidak mendapatkan kompensasi apa-apa tentu dia akan ngomong apa adanya," kata Refly.
Refly mencontohkan kasus korupsi yang menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, informasi keterlibatan pihak lain sedikit demi sedikit terkuak. Hal itu, kata Refly, lantaran Nazaruddin tidak tahan dijadikan 'korban' sendirian.
"Sekarang sejauh mana Pak Akil ini mau menanggung sendiri beban (korupsi) itu? Dia mau sendirian di 'kandang' itu atau dia kemudian mau menunjuk orang lain untuk menemani di 'kandang'. Kalau kita bicara mafia hukum dan peradilan, sangat mungkin yang terlibat dalam kasus suap Pak Akil banyak, ada brokernya," papar Refly.
KPK menetapkan Akil Mochtar sebagai tersangka penerima suap Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan dan Lebak, Banten bersama dengan sejumlah tersangka lain. Selain itu, KPK juga menjerat Akil dengan pasal tambahan penerimaan gratifikasi.