REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Imanuddin Kamil
Dalam tatanan berbangsa dan bernegara, fluktuasi nilai tukar (mata uang) menjadi problem serius yang mengancam. Melemahnya nilai tukar membuat stabilitas ekonomi, politik, sedikit goyah. Jika tidak ditangani dengan cepat, tentu akan menjadi krisis multidimensi. Pada akhirnya, negara dalam ambang kebangkrutan.
Fenomena fluktuasi berlaku juga dalam kaidah keimanan. “Iman itu bertambah dan berkurang,” sabda Rasulullah SAW. Iman itu fluktuatif, kadang naik, kadang turun, menguat dan melemah, pasang dan surut. Iman akan bertambah dengan tha’ah dan berkurang dengan maksiat.
Fenomena melemahnya keimanan diindikasikan dengan kelesuan dalam melakukan setiap bentuk ketaatan. Malas beribadah, malas membaca Alquran, malas berinfak dan berzakat, merasa berat datang ke majelis ilmu, berat untuk berbuat kebaikan. Pendeknya, lemah iman telah membuat hati dan jiwa kehilangan antusiasme beramal. Pada saat yang sama, gelora untuk berbuat yang tidak baik semakin menguat. Sebab, lemah iman akan menjadikan hati dan jiwa rentan terhadap segala bentuk dan perilaku maksiat.
Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang pezina itu berzina, ketika ia memiliki kesempurnaan iman. Dan tidaklah seorang pencuri itu mencuri, ketika ia memiliki kesempurnaan iman serta tidaklah seseorang itu meminum khamr, ketika ia memiliki kesempurnaan iman. Sedangkan pintu tobat masih terbuka setelah itu." (HR Muslim)
Dampak dari melemahnya keimanan tentu jauh lebih dahsyat dari sekadar melemahnya nilai mata uang. Lemah iman tak hanya menyengsarakan di dunia, tapi juga di akhirat kelak. Imbas melemahnya keimanan tak hanya mengantarkan bangsa dan negara pada ambang kebangkrutan, tapi juga kehancuran.
Kesadaran akan ancaman ‘fluktuasi keimanan’ haruslah menjadi hal penting dalam keberislaman kita. Kemungkinan berkurangnya iman seharusnya membuat kita lebih serius dalam menjaga, merawat, dan memperhatikan perkembangan keimanan. Bahkan, harus jauh lebih serius dibanding perhatian yang diberikan untuk fisik atau jasad. Rasulullah SAW berkali-kali mengingatkan kita untuk senantiasa memperbarui keimanan. "Perbarui iman kalian," sabdanya.
Tajdidul iman (memperbarui keimanan) bukan berarti mengulangi keislaman dengan menganggap keislaman atau keimanan yang lalu batal. Tajdidul iman lebih tepat adalah merupakan sebuah bentuk kompensasi kita, usaha kita untuk menjaga kestabilan iman, mengontrol kadar iman yang dimiliki sekaligus meningkatkan kualitasnya.
Ada beberapa sebab yang dapat mendongkrak kadar keimanan seseorang sehingga kerja dari tajdidul iman-nya menjadi lebih terarah. Pertama, banyak berzikir. Kedua, tilawah Alquran. Ketiga, menadaburi dan menafakuri ayat-ayat Allah. Kegiatan ini bisa menjadi media taqarub kepada Allah sekaligus meningkatkan kadar iman. Keempat, bergaul dan menyertai orang-orang saleh. Ini bisa dilakukan dengan menghadiri majelis ilmu, majelis zikir, menjalin silaturahim, atau mungkin dengan mem-follow akun-akun yang bisa memberi manfaat, pencerahan, nasihat, dan tausiah. Wallahu a’lam.