Senin 28 Oct 2013 21:08 WIB

Ini Tolak Ukur Kredibilitas Survei Politik

A recent survey shows that most Indonesians spend at least 197 hours a year to watch TV. (illustration)
Foto: Republika/Yogi Ardhi
A recent survey shows that most Indonesians spend at least 197 hours a year to watch TV. (illustration)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Lembaga Penelitian Alvara, Hasanuddin Ali, memaparkan tiga acuan penting yang dapat digunakan masyarakat dan berbagai kalangan untuk mengukur kredibilitas sebuah survei politik, yang diperkirakan bermunculan menjelang Pemilu 2014.

Hasanuddin setelah pemaparan "Survei Partai dan Calon Presiden 2014" di Jakara, Senin, mengatakan tiga hal tersebut adalah motif, alat ukur dan metodologi survei.

"Tiga hal ini diharapkan dapat melihat berbagai hasil survei yang bermunculan beberapa waktu belakangan menjelang Pemilihan Umum 2014," kata Hasanuddin.

Acuan pertama yakni motif memberi kerangka untuk melihat lebih jauh secara konsep dari alasan objektif pelaksanaan survei tersebut, dan juga siapa yang mendanai survei. Acuan pertama itu juga sangat berkaitan dengan acuan kedua yakni alat ukur.

Menurut Hasanuddin, motif dari survei tersebut atau siapa yang membiayai survei itu akan menentukan alat ukur yang digunakan para peneliti.

"Jika partai yang membayar survei, maka alat ukur yang digunakan adalah untuk kepentingan dan tujuan survei tersebut," kata dia. Maka dari itu, hasil survei yang sudah "dipesan" pihak tertentu atau parpol tidak boleh dipublikasikan kepada masyarakat luas karena dapat menyesatkan.

"Hasil dari survei tersebut hanya untuk internal partai," katanya. Secara etik dilarang disebarluaskan ke masyarakat," ujarnya menambahkan.

Namun, Hasanuddin mengakui dalam konteks kekinian, tidak ada perangkat yang mengawasi penyebaran hasil survei yang telah "dipesan" tersebut.

Beberapa tahun lalu, kata Hasanuddin, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pernah mengonsolidasi soal survei politik dan soal regulasi survei "pesanan".

"Namun hal tersebut tak pernah berlanjut lagi," kata dia.

Selain motif dan alat ukur, Hasanuddin mengatakan acuan yang ketiga adalah metodologi penelitian.

Metodologi survei harus objektif memberikan kesempatan kepada semua calon atau figur politik untuk menjadi objek kepada responden, kata dia.

"Tidak boleh ada batas-batas dengan maksud tertentu," kata Hasanuddin.

Hasanuddin mengakui biasanya dalam survei memang terdapat skenario untuk melihat keragaman hasil penelitian.

"Namun tetap setelah skenario tersebut, harus kembali kepada metode untuk memberikan kesempatan yang sama," katanya.

Dalam kesempatan tersebut, Hasanuddin memaparkan hasil penelitiannya kepada 1.533 responden di 10 kota besar yakni Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Medan, Surabaya, Makassar, Bandung, Semarang, Palembang, Balikpapan, Denpasar, dan Manado.

Survei tersebut dilakukan dengan metode wawancara langsung, dengan "margin of error" kurang lebih 2,5 persen pada 24 September hingga 13 Oktober 2013.

Menurut hasil survei Alvara, figur bakal calon Presiden yang terpopuler adalah Aburizal Bakrie, akrab disapa Ical, dengan persentase pemilih 78,4 persen, yang ditempel dekat oleh kader PDI Perjuangan Joko Widodo (76,0 persen), dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto (66,3 persen).

Namun, untuk elektabilitas atau dengan pertanyaan "Responden Akan Memilih Siapa", Alvara menemukan 25,9 persen responden memilih Jokowi sebagai yang tertinggi, kemudian Prabowo Subianto (9,2 persen), dan baru Aburizal Bakrie (7,6 persen).

Menyinggung survei Alvara, Hasanuddin berani menjamin soal independesi survei tersebut.

"Kami bukan lembaga pemenangan partai, kami adalah lembaga survei. Kami melakukan survei untuk bisnis dan sosial politik," klaimnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement