Rabu 30 Oct 2013 14:57 WIB

Sadar Hukum

Sanksi hukum / ilustrasi
Foto: IST
Sanksi hukum / ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lia Z Ansor

Suatu ketika, Abdurrahman Ibnu Umar tidak sengaja dan tanpa sepengetahuannya, meminum minuman yang memabukkan. Dengan keadaan menyesal, Abdurrahman menghadap Gubernur Mesir untuk dijatuhi hukuman sebagaimana mestinya, yakni dicambuk dan digunduli di depan khalayak ramai.

Namun, sang gubernur tidak berkenan, mengingat Abdurrahman adalah putra seorang kepala negara. Abdurrahman terus mendesak gubernur, bahkan jika tetap tidak mau, ia mengancam akan melaporkannya kepada ayahnya.

Dengan berat hati, gubernur pun mengeksekusi Abdurrahman sebagaimana aturan yang berlaku waktu itu. Namun, hal ini dilakukan hanya di dalam rumah gubernur, bukan di depan massa.

Singkat cerita, tanpa berniat melaporkannya, ternyata kabar itu menyebar dan akhirnya sampailah ke telinga Umar bin Khattab, yang tiada lain adalah kepala negara sekaligus ayah kandung Abdurrahman Ibnu Umar.

Kemudian Umar bin Khattab mengirim surat kepada gubernur atas perlakuan istimewanya kepada putranya. ''Engkau mencambuk dan mencukur Abdurrahman di dalam rumahmu. Engkau tahu, hal ini menyalahi aturanku. Abdurrahman tidak lain adalah salah seorang dari rakyatmu yang seharusnya engkau perlakukan sebagaimana warga negara lainnya.''

''Tapi engkau berpendapat bahwa Abdurrahman adalah putra Amirul Mukminin. Bukankah engkau telah mengetahuinya bahwa bagiku tidak ada suatu perlakuan istimewa untuk seorang pun di hadapan hak Allah yang harus dipertanggungjawabkan.''

Gubernur sangat paham maksud isi surat tersebut dan segera memulangkan Abdurrahman  seperti yang diperintahkan kepala negara. Kemudian Umar bin Khattab menghukum kembali putranya meski kondisi Abdurrahman pada saat itu masih belum pulih dari hukuman sebelumnya.

Begitu mulianya sikap anak dan ayah ini yang sangat mafhum terhadap posisinya sebagai orang yang melakukan kesalahan. Di sisi lain, kecintaan Umar bin Khattab terhadap putranya tidak serta-merta membebaskan putranya dari ancaman hukuman, justru ia sendiri yang menghukumi putranya agar terbebas hukuman di akhirat dan sebagai bukti bagi rakyatnya bahwa ia tidak membeda-bedakan status dalam penegakan hukum.

Jika semua pejabat pemerintah dan rakyatnya sadar serta menjunjung tinggi hukum,  tidak ada lagi kesenjangan perlakuan hukum dan ketenteraman hidup akan terwujud. Wallahu’alam.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement