REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produsen minyak sawit mentah ramah lingkungan (certified sustainable palm oil/CSPO) di Indonesia perlu mencari pasar yang lebih luas. Tahun 2012 lalu, baru 52 atau persen atau 4 juta ton produksi CSPO yang mampu diserap pasar. "Sisanya hanya dijual sebagai CPO biasa, bukan CSPO," ujar Direktur Indonesia Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Desi Kusumadewi, Rabu (30/10).
Setiap tahunnya Indonesia mampu memproduksi sebanyak 9 juta CSPO. Produksi CSPO Indonesia baru bisa menambal kebutuhan dunia sebanyak 15 persen. Untuk itu RSPO menargetkan penyerapan CSPO sebanyak 16 persen atau setara 8 juta ton pada tahun 2015.
Saat ini pasar Uni Eropa masih menjadi pasar terbesar bagi CSPO. Namun porsi penyerapan di Uni Eropa sebetulnya masih rendah, hanya sekitar 12-13 persen dari CSPO yang tersedia. Produsen Indonesia perlu membidik pasar lain seperti Cina, India, Amerika dan Australia yang konsumsinya masih rendah.
Khusus untuk pasar Amerika, penyerapan CSPO dikatakan agak sulit digenjot. Salah satu penyebabnya karena Ameirka belum mau menerima minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel. Sedangkan untuk penyerapan Cina, perihal harga masih menjadi pertimbangan utama. Pasar Cina cenderung mencari produk yang murah dan tidak terlalu mengindahkan isu lingkungan.
Konsumsi CSPO domestik pun masih terbilang kecil. RSPO mencatat penyerapan baru mencapai 6 juta ton per tahun. "Kita akan mendorong perusahaan untuk certified, agar mereka bisa jualan ke Eropa dan menikmati subsidi," lanjut Desi.
Penasehat RSPO Bungaran Saragih melihat masih banyak sentimen negatif yang diberikan untuk minyak sawit produksi Indonesia. Untuk itu RSPO diharapkan bergerak dengan lebih dinamis dan fleksibel.
Vice President II RSPO Edi Suhardi mengakui isu kelapa sawit masih menjadi perhatian dunia. Di APEC kemarin misalnya, pemerintah terbukti gagal mendulang dukungan menjadikan CPO Indonesia diakui menjadi produk ramah lingkungan. Hal ini terlihat dari dukungan resolusi yang diberikan pemerintah yang hanya didukung oleh Papua Nugini dan China saja. Produsen CPO terbesar kedua seperti Malaysia terbukti enggan mendukung resolusi ini.
Pemerintah menurut dia harus mencari strategi lain untuk mengimbangi sentimen negatif tersebut. Caranya bisa dengan memperjuangkan pengakuan sertifikasi terhadap produk ramah lingkungan. "Mengenai sertifikasi seperti apa, ini bisa didiskusikan lebih lanjut antara pemerintah dan juga stakeholder lain," katanya.