REPUBLIKA.CO.ID,LONDON -- Jon Patrick Holloway seorang jenius. Di dunia maya, ia dikenal sebagai sosok piawai dalam meretas. Ia mampu menyelinap dan menerobos laman milik pemerintah dengan benteng pertahanan kokoh. Ia pun bisa masuk ke akun surat elektronik seseorang.
Ia mengambilalih akun tersebut. Selanjutnya, ia mengetahui seluruh aliran informasi dalam surat elektronik itu. Ia tahu kebiasaan, perilaku, dan apa yang hendak orang itu lakukan. Singkatnya, ia tahu segalanya. Bahkan ia melakukan rekayasa sosial.
Holloway yang juga dikenal dengan nama Phate, menyamar menjadi teman orang yang dibajak akun surat elektroniknya. Tak lama berselang, ia merenggut nyawa si korban. Phate merupakan tokoh rekaan Jeffrey Deaver dalam novel berjudul The Blue Nowhere.
Melalui kemampuannya, Phate mampu menerobos keamanan sebuah laman atau akun. Lebih jauh, ia melakukan kejahatan. Berubah dari sekadar hacker menjadi cracker. Akses ke komputer orang lain untuk memperoleh informasi, merupakan kunci baginya.
Karena itu, Phate meyakini akses adalah dewa. Dalam konteks terkini, operasi mata-mata dan penyadapan Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA) sama seperti yang dilakukan Phate. Mereka berusaha memperoleh akses informasi.
Menggali informasi bisa melalui penyadapan, peretasan, atau aksi mata-mata terhadap warga sipil atau pemimpin suatu negara. Dari sini, NSA menangguk berlimpah informasi. Mereka memanfaatkannya untuk merumuskan langkah menguntungkan bagi AS. Dan akses adalah dewa.
Meski terselubung rapi namun langkah rahasia itu tersingkap. Edward Snowden, pegawai kontrak NSA, membantu mengungkapkannya. Isu aksi memata-matai dan penyadapan semakin membuat geger saat terungkap penyadapan atas telepon Kanselir Jerman Angela Merkel.
Semula, Eropa tak terlalu peduli dengan berita soal NSA. Mereka beranggapan, tak mungkin negara-negara sekutu AS dimata-matai. Sebelum diketahui Merkel disadap, pemimpin lainnya juga menjadi korban penyadapan NSA. Dia adalah Presiden Brasil Dilma Rousseff.
Rousseff tak peduli siapa yang dihadapi. Ia langsung melayangkan protes pada AS. Salah satu jalan yang ditempuh, Rousseff membatalkan kunjungan ke Gedung Putih pada 17 September 2013 lalu. Semua terungkap setelah tayangan Globo TV tanggal 1 September. Mereka menggambarkan program mata-mata yang dijalankan NSA secara perinci. Jurnalis AS yang berbasis di Rio de Janeiro, Brasil, Glenn Greenwald bekerja sama dengan Globo. Ia memperoleh bocoran data dari Snowden.
Mereka menyatakan, komunikasi Rousseff dan para wakilnya disadap. NSA juga meretas jaringan komputer perusahaan minyak negara Petrobas. Selain itu, NSA memantau miliaran telepon dan surat elektronik warga Brasil.
Riak kecil mulai terjadi di Eropa pada 21 Oktober 2013. Harian Prancis, Le Monde edisi Senin itu, melansir berita mengenai langkah NSA merekam data panggilan telepon. Jumlahnya mencapai 70,3 juta data panggilan. Pengumpulan data berlangsung antara 10 Desember 2012 hingga 8 Januari 2013.
Selang sehari, Perdana Menteri Prancis Jean-Marc Ayrault menyatakan, berita penyadapan itu persoalan serius dan mengejutkan. Giliran mingguan asal Jerman, Der Spiegel yang menyingkap tabis gerakan NSA di Eropa. Telepon Merkel disadap. Tak membuang waktu, Merkel langsung menghubungi Presiden AS Barack Obama.’’Jika memang dilakukan, ini mencederai rasa saling percaya di antara kita sebagai negara bersekutu. Ini sama sekali tak dapat diterima,’’ katanya.
Penyadapan atas Merkel telah berlangsung sejak 2002. Tiga tahun sebelum ia jadi kanselir. Kepala NSA Keith Alexander memberitahu soal ini kepada Obama tahun 2010. ‘’Obama tak menghentikan operasi ini justru membiarkannya berlanjut,’’ ujar petinggi NSA.
Dia mengungkapkan, Obama meminta materi-materi komprehensif mengenai Merkel dan Jerman. Ia merasa tak percaya pada Merkel. Saat pertemuan negara-negara Eropa di Brussels, Belgia tanggal 24 Oktober, Merkel menegaskan kembali perlunya kepercayaan antarsekutu. ‘’Kita perlu kepercayaan di antara negara sekutu. Kini kepercayaan itu harus dibangun kembali,’’ kata dia setelah keluar dari mobil berpelat nomor 007. Kasus ini, bakal berpengaruh baik pada hubungan AS dengan Eropa maupun hubungan Merkel dengan Obama.
Permulaan hubungan buruk antara mereka terjadi pada 2008. Saat itu Merkel mengabaikan hak Obama berpidato di Brandenburg Gate, simbol penyatuan Jerman. Meski sering bertemu, kunjungan ke Berlin tak menjadi prioritas. Baru setelah 4,5 tahun, Obama ke Berlin.
Di bawah kepemimpinan Merkel, Jerman juga membuat frustrasi AS. Khususnya ketika Merkel menolak mendukung Barat melakukan intervensi militer di Libya. Di sisi lain, Obama menyampaikan rasa kekhawatirannya dengan kemampuan Jerman mengelola krisis euro.
Guardian mengungkapkan, ada 35 pemimpin negara yang menjadi target NSA. Dan nampaknya, kegiatan mata-mata yang ditempuh NSA tak bakal berhenti. Direktur Intelijen AS James Clapper mengatakan memata-matai negara sekutu AS perlu dilakukan.
Ini merupakan hal lumrah. Menurut dia, negara lain juga menempuh kebijakan yang sama. Ia mengabaikan keluhan negara Eropa karena pemimpin mereka disadap dan dimata-matai. Ia beralasan mereka melakukan hal serupa. ‘’Ini akan bertahan abadi,’’ kata Clapper.
Selama 50 tahun berkarier di bidang intelijen, ujar Clapper mengumpulkan informasi tentang pemimpin negara lain merupakan prinsip dasar. Caranya, bisa dengan menyadap alat komunikasi mereka atau lewat sumber lainnya.
Memata-matai mereka, bisa membantu mengungkap hal yang sebenarnya. Intinya, memastikan apakah pernyataan seorang pemimpin negara sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. Jadi langkah NSA, Clapper anggap tak berlebihan. Sesuatu yang biasa.
Di sisi lain, Cina yang selama ini menjadi seteru AS, mengantisipasi serangan. Cina tentu berpandangan, negara sekutu AS saja disadap apalagi mereka yang kerap bersitegang. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Hua Chunying mengatakan memastikan langkah Cina itu.
Menurut dia, Cina bakal meningkatkan keamanan agar informasi penting terjaga dengan baik. ‘’Kami melihat perkembangan soal berita penyadapan. Kami akan menempuh sejumlah langkah menjaga keamanan informasi kami,’’ ujarnya Rabu (30/10).
Hua enggan mengungkapkan, Cina juga melakukan penyadapan skala besar seperti NSA. Tapi paling tidak, operasi penyadapan di dalam negeri berjalan sangat canggih. Sejumlah diplomat asing mengatakan, pejabat negara mereka yang berkunjung ke Cina ekstra hati-hati.
Mereka biasa meninggalkan telepon genggam dan laptop atau tablet di rumah saat bertandang ke Cina. Mereka khawatir telepon disadap dan laptop diretas. AS kerap menuding Cina intens meretas komputer pemerintah atau perusahaan milik negara lain.