REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini
(Penulis Buku “Menemukan Bahagia”)
Anda pernah marah? Semua manusia normal pasti pernah merasakan marah dan gembira, menangis dan tertawa, sedih dan senang, murung dan ceria. Kemarahan lumrah dialami siapa saja. Rasulullah sendiri pernah marah, sebagaimana sabda beliau, “Aku ini manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah.” [HR Muslim].
Kemarahan muncul dari dorongan nafsu, yang merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, sepanjang masih bernama manusia, kemarahan pasti ada. Kemarahan orang itu beragam. Menurut Imam Al-Ghazali, ada orang yang begitu lekas marah, lekas reda. Yang lain, lambat marah, lambat pula redanya. Yang terbaik tentu yang lambat marah, tetapi lekas redanya.
Orang beriman harus pandai mengendalikan kemarahan agar tidak meluap, sehingga menyebabkan gelap mata, tuli telinga, mati hati, tumpul akal, hilang pertimbangan. Bijak bestari mengatakan, kapal di laut yang dipermainkan gelombang dan kehilangan kompas masih lebih baik ketimbang kondisi orang yang dilanda kemarahan. Karena, ketika kapal itu rusak, orang yang melihat masih merasa iba. Tetapi orang yang marah, semakin ditolong semakin karam, semakin dibangunkan semakin jatuh, sehingga orang jemu melihatnya.
Kendati demikian, mengendalikan kemarahan sungguh tidak mudah. Terlalu banyak persoalan yang mudah menyulut kemarahan. Tidak heran, Rasulullah menyebut orang yang berhasil mengendalikan kemarahan sebagai orang perkasa. Bukhari dan Muslim mengutip hadis sahih yang berbunyi, “Orang perkasa itu bukanlah orang yang mampu membanting lawannya. Tetapi, siapa yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah, itulah orang perkasa.”
Bahkan, ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah dan meminta nasihat, beliau hanya berpesan, “Jangan marah!” Menurut Abu Hurairah, Rasulullah mengulang pesan singkat itu sampai beberapa kali. Itu berarti, mengendalikan kemarahan memang sangat diperintahkan. Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa kemampuan mengendalikan kemarahan adalah salah satu ciri orang bertakwa.
“(Orang-orang bertakwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (harta), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan marah dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [QS Ali Imran/3: 134].
Memaafkan kesalahan orang pasti sukar dilakukan jika hati diselimuti kemarahan. Jangankan memaafkan, yang muncul justru dendam. Kemarahan yang diposisikan pada waktu dan tempat yang pas, itulah marah profesional. Prof Hamka pernah membagi tiga tipologi kemarahan.
Pertama, marah terpuji. Dijelaskan Buya Hamka, marah tipologi ini termasuk ghirah li al-sharaf (marah demi menjaga kehormatan). Ketika Islam dilecehkan, orang beriman wajib marah. Juga ketika istri atau suami kita diselingkuhi orang. Orang yang tidak marah melihat kondisi demikian dikatakan sebagai dayus alias hina budinya. Sebab kehadiran Islam sendiri sejatinya melindungi lima hal prinsip: agama, jiwa, akal, kehormatan, harta. Aisyah berkisah,“Rasulullah tidak pernah marah karena urusan diri pribadi, kecuali jika batasan syariat Allah dilanggar, maka beliau akan marah dengan pelanggaran tersebut karena Allah.” [HR Bukhari dan Muslim].
Kedua, marah tercela. Inilah kemarahan yang semata termotivasi dorongan nafsu. Kendati tidak dilarang, kemarahan tipologi ini harus dihindari. Islam mengajarkan sikap sabar. Tetapi sabar adalah ketika sesuatu yang menjengkelkan itu terjadi. Kalau kita marah-marah ketika kehilangan barang, kemudian besoknya setelah kemarahan itu hilang, tiba-tiba kita mengaku bersabar, itu namanya bukan sabar. Rasulullah bersabda, “Kesabaran itu pada goncangan pertama.” [HR Bukhari dan Muslim].
Ketiga, marah terlarang. Kemarahan ini umumnya timbul dari sikap pongah, congkak, dan merasa paling hebat dari yang lain. Tidak ada yang dapat dipetik dari kemarahan tipologi ini kecuali penyesalan. Pelakunya biasa disebut sebagai pemarah. Pemarah tidak pernah dapat mengatasi masalah. Yang terjadi justru berkurangnya kawan, merosotnya martabat, puasnya pendengki, dan bergembiranya musuh. Kata Buya Hamka, ujung dari kemarahan ini adalah penyakit tahawur (berani babi) dan jubun (pengecut).
Kemarahan yang dikelola secara profesional akan menimbulkan sikap syaja’ah. Itulah keberanian yang berlandaskan kebenaran. Ali bin Abu Thalib adalah seorang pendekar jihad. Dalam sebuah pertempuran, Ali berhasil membekuk seorang lawan. Tinggal satu langkah lagi Ali akan mengakhiri riwayat musuh itu. Tiba-tiba, musuh yang tidak berdaya itu meludahi Ali tepat di mukanya. Spontan, Ali melepaskannya. Ada apa gerangan? Ternyata Ali tidak mau membunuh musuh hanya karena marah akibat diludahi, bukan tulus karena membela agama Allah. Sungguh sebuah contoh sikap pemberani yang mampu mengatasi kemarahan.
Pemuda berjuluk Kota Ilmu itu begitu meneladani junjungannya, Rasulullah. Setiap cercaan dan siksaan selalu disikapi Rasulullah dengan kelembutan dan kesabaran. Setiap berangkat dan pulang ibadah di masjid diludahi orang, beliau tidak marah. Salat di Kakbah selalu dilempari kotoran, beliau tetap tenang. Berdarah-darah karena diserbu penduduk Thaif dengan batu, beliau malah balas mendoakan. Bahkan, ketika Aisyah, istri tercinta, digosipkan berselingkuh dengan Shafwan bin Muathal sepulang dari pertempuran melawan Bani Musthaliq, beliau juga tidak membalas fitnah keji yang disebarkan gembong munafik Abdullah bin Ubai itu. Keluhuran akhlak Rasulullah benar-benar diakui kawan sekaligus lawan. Mungkinkah kita sanggup meneladani sosok Matahari Dunia itu?
Kehidupan keseharian kita kerap diwarnai kemarahan. Mendengar pribadi kita diserang, seketika kita naik pitam. Melihat partai atau aliran kita dipojokkan, berjuta cara kita lakukan untuk balas memojokkan. Lucunya, saat kepemimpinan kita dikritisi, segera kita gelar jumpa pers untuk mengemukakan seribu dalih untuk membela diri. Kita rajin mencari pendapat yang menguatkan alibi diri. Kita juga cenderung menggilai sanjungan sembari mengumpat kritik. Kemarahan kita sungguh jauh dari sikap profesional.
Api kemarahan juga sering meletup dalam kehidupan kolektif kita. Sangat mudah kita temukan penyelesaian persoalan dengan jalan kekerasan. Pelakunya bisa berupa lembaga atau organisasi, termasuk yang berbaju agama. Setiap kelompok akan mudah menempuh jalan ngawur apabila tidak mampu mengendalikan kemarahan. Padahal kemampuan mengendalikan kemarahan akan mendatangkan keuntungan besar di masa mendatang. Rasulullah bersabda, “Barang siapa menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, niscaya Allah akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya.” [HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad].
Menurut At-Thibi, mengendalikan kemarahan yang dipuji dalam hadis itu adalah ketika seseorang sedang marah dan mampu untuk melampiaskan. Sementara ketika dia tidak mampu melampiaskan, misalnya karena takut kepada orang yang membuatnya marah atau karena kelemahannya, maka menahan kemarahan dalam keadaan demikian tidak termasuk yang dipuji.
Simak kisah menarik yang ditulis Ibnu Rajab dalam kitab ‘Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam’ berikut. Khalifah Umar bin Abdul Aziz marah. Putranya yang bernama Abdul Malik lalu berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, dengan karunia dan keutamaan yang Allah berikan kepadamu, engkau marah seperti ini?” Umar bin Abdul Aziz berkata, “Apakah kamu tidak pernah marah, Wahai Abdul Malik?” Lalu Abdul Malik menjawab, “Tidak ada gunanya bagiku lapangnya dadaku kalau tidak aku gunakan untuk menahan kemarahanku di dalamnya supaya tidak tampak, sehingga tidak mengakibatkan keburukan.”
Alamat Email: [email protected]