REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Kelompok minoritas Muslim Uighur mendesak Pemerintah Cina transparan dalam penyelidikan insiden ledakan mobil di Lapangan Tiananmen pada Senin (28/10).
Komunitas paling terkekang di 'Negeri Bambu' menolak tuduhan pemerintah yang menyatakan Muslim Uighur sebagai pelaku utama ledakan tersebut.
''Klaim Cina sepihak dan tanpa penyelidikan (yang transparan). Klaim itu tidak bisa kami terima sebagai fakta. Kita membutuhkan penyelidikan independen (atas insiden tersebut). Internasional pun harus ikut,'' kata Presiden Kongres Uighur, Rebiya Kadeer, Kamis (31/10).
Kadeer yakin Muslim Uighur adalah korban fitnah pemerintahan represif. Pernyataan Kadeer bukan tanpa alasan.
Menurut dia, Partai Komunis Cina (PKC) dan negara mengakui pengekangan terhadap Muslim Uighur telah mengikis perlawanan kelompok tersebut terhadap negara. Hal tersebut menjadi tidak mungkin menjadikan Muslim uighur sebagai pelaku serangan mematikan tersebut.
Akan tetapi, Kadeer menambahkan tuduhan terhadap Muslim Uighur pun harus terbukti dengan jujur. Kalau pun pelaku utamanya adalah dari kalangan Muslim Uighur, maka hal tersebut adalah buah dari sikap menindas Cina terhadap kelompok minoritas di negeri tersebut.
''Saya percaya, jika ini benar (dilakukan oleh Muslim Uighur), ini jawaban karena sikap putus asa (Muslim Uighur) atas ketidakadilan pemerintah Cina,'' ujar Kadeer.
Hingga hari kelima pasca ledakan, sulit untuk mencari kebenaran peristiwa ini. ''Kita tahu, Cina itu mengontrol ketat semua informasi (tentang insiden tersebut),'' sambung Kadeer.
Lima orang tewas dan sedikitnya 38 orang luka-luka setelah sebuah mobil meledak di Lapangan Tiananmen pada Senin (28/10). Ledakan tersebut dikatakan sebagai upaya ledakan bom bunuh diri.
Pemerintah Cina menetapkan lima tersangka dalam kejadian itu. Pemerintahan Presiden Xin Jinping pun menyatakan kejadian tersebut adalah aksi terorisme.
Tiga hari pascaledakan, Beijing menuduh insiden tersebut dilakukan kelompok Muslim Uighur. Tuduhan itu dirilis setelah para pelaku memiliki nama dari etnis tertindas di Provinsi Xinjiang tersebut.