Senin 04 Nov 2013 15:39 WIB

MoI Palestina: Inggris Harus Minta Maaf Atas Kejahatan 'Deklarasi Balfour'

Sebuah koran Palestina
Foto: teifidancer-teifidancer.blogspot.com
Sebuah koran Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Kementrian Informasi (MoI) Palestina mengatakan pemerintah Inggris harus bertanggung jawab penuh atas kejahatan politik Balfour terhadap rakyat Palestina.

Kementrian, dalam sebuah pernyataan pers yang dirilis Sabtu 2 November lalu dan yang bertepatan dengan ulang tahun ke-96 Deklarasi itu, menuntut pemerintah Inggris secara terbuka meminta maaf kepada rakyat Palestina atas kejahatan yang ditimbulkan.

Kementrian menekankan hak bersejarah rakyat Palestina atas tanah dari laut sampai sungai.

Palestina juga menyerukan lembaga-lembaga PBB dan dunia untuk menempatkan kepentingan rakyat Palestina dan hak-hak mereka sebagai agenda utama.

Kementrian itu juga menyerukan untuk menuntut para pejabat pendudukan Israel yang terlibat kejahatan dan pembantaian sepanjang sejarah dan menekankan bahwa perlawanan adalah pilihan strategis rakyat Palestina dalam perjuangan melawan penjajahan.

"Palestina juga menekankan komitmennya untuk mengadakan rekonsiliasi nasional, mengulangi panggilan terbuka kepada Fatah dan semua gerakan Palestina menyepakati agenda politik bersama yang melindungi hak-hak rakyat Palestina terhadap kebijakan kriminalitas pendudukan," kata pernyataan itu dilansir Alray.

Palestina juga meminta media dan kalangan jurnalis untuk menyoroti kejahatan berturut-turut pendudukan, dan mencerahkan opini publik di tingkat lokal dan internasional dengan apa yang pelaku Zionis telah dilakukan terhadap warga Palestina sebagai akibat dari perjanjian itu.

"Menteri Luar Negeri Inggris [Arthur James] Balfour berjanji pada 2 November 1917 untuk memberikan kepada Yahudi sebuah tanah air nasional yang akan didirikan di atas tanah Palestina, sebuah janji yang tidak layak diberikan untuk orang-orang yang tidak legal memilikinya," tambah penyataan itu.

Deklarasi Balfour bertanggal 2 November 1917 merupakan surat dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour ke konglomerat Baron Rothschild (Walter Rothschild, Baron kedua keluarga Rothschild) yang merupakan bankir ternama dan kakek buyut para miliarder Rothschild saat ini. Saat itu ia merupakan, pemimpin komunitas Yahudi Inggris. 

Surat itu dimaksudkan diteruskan kepada Federasi Zionis Inggris dan Irlandia yang saat itu bukan warga Palestina.

"Pemerintahan Yang Mulia dengan ini mendukung pendirian sebuah tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina, dan akan menggunakan upaya terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, itu menjadi jelas dipahami bahwa tidak akan dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak sipil dan agama dari komunitas-komunitas non-Yahudi di Palestina, atau hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara lain," demikian sebagian bunyi surat itu.

Naskah surat itu diterbitkan ke pers satu minggu kemudian, pada tanggal 9 November 1917.

Surat yang kemudian disebut "Deklarasi Balfour" itu kemudian dimasukkan ke dalam perjanjian damai Sèvres dengan Kekaisaran Utsmaniyah, leluhur negara Turki sekarang, dan Pemerintahan Inggris Mandat Palestina yang diakui Liga Bangsa-bangsa.

Dokumen asli surat ini disimpan di British Library.

Sebelumnya, tahun 1914, perang pecah di Eropa antara Inggris dengan sekutu dan Jerman, Austria-Hungaria dan kemudian Kekaisaran Utsmaniyah. Perjanjian damai Sèvres bertanggal 10 August 1920 dibuat saat Kekaisaran Utsmaniyah kalah oleh sekutu dan berakhirnya perang dunia I.

Cikal bakal untuk mencaplok tanah Palestina dimulai tahun 1896 saat Theodor Herzl, seorang jurnalis Yahudi yang tinggal di Austria-Hungaria, menerbitkan sebuah pamplet Der Judenstaat, "Negara Yahudi", di mana ia menegaskan bahwa satu-satunya solusi untuk mencegah perlakuan buruk atau antisemitisme terhadap orang Yahudi oleh masyarakat Eropa atau dikenal dengan istilah Jewish Question, adalah melalui pembentukan Negara Yahudi.

Sikap orang Eropa saat itu terhadap Yahudi melahirkan organisasi politik Zionisme. Setahun kemudian, Herzl mendirikan Organisasi Zionis (ZO), yang pada kongres pertama menyerukan pembentukan sebuah rumah bagi orang-orang Yahudi Eropa di Palestina yang saat itu masih merupakan wilayah Utsmaniyah.

Sebelumnya, antara tahun 1881-1888, melihat persekusi Yahudi di Eropa, Kekaisaran Utsmaniyah mengumumkan memberi ijin kepada orang Yahudi yang bukan warga Utsmaniyah untuk tinggal di seluruh wilayah negara itu kecuali Palestina, karena di sana sudah ada orang Palestina dan Yahudi lokal.

Saat itu konglomerat Baron Edmund the Rothschild dari Prancis mendanai pengungsian warga Yahudi ke Palestina dan pembelian tanah-tanah warga. Ini membuat friksi dengan pemerintah. 

Sementara itu beberapa negara di Eropa juga mulai mencari solusi untuk mendirikan sebuah negara bagi Yahudi. Ada yang di Uganda, Australia, Rusia bahkan sampai ke Amerika Selatan.

Percaturan politik setelah itu, apalagi setelah bangkitnya Nazisme Jerman yang anti-Yahudi, membuat nasionalisme diaspora Yahudi berhasil mendirikan negara di Palestina tahun 1948, tanpa persetujuan seluruh warga Palestina yang sudah ada di sana ratusan tahun sebelumnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement