Selasa 05 Nov 2013 06:13 WIB

Ogah Terima Jabatan

Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Foto: blogspot.com
Khalifah Umar bin Abdul Aziz

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini (Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’)

Khalifah Umar bin Abdul Aziz hatinya gundah. Semalaman dia tidak bisa tidur karena sibuk memikirkan siapa gerangan yang layak diangkat menjadi hakim di Basrah. Sebagai penguasa, dia harus memastikan bahwa orang yang kelak menduduki kursi jabatan itu harus benar-benar sanggup berdiri tegak di atas keadilan. Menemukan pejabat negara yang tahan ujian dan tidak gila pujian sungguh tidak mudah.

Lama merenung, pikirannya akhirnya tertambat pada dua nama yang dipandang memenuhi fit and proper test sebagai seorang hakim. Kedua sosok itu dikenal tegas dalam kebenaran dan cemerlang dalam pemikiran. Kepada wakilnya, Adi bin Arthah, khalifah lantas memerintahkan supaya dipanggilkan kedua nama itu. Mereka adalah Iyas bin Muawiyah Al-Muzani dan Al-Qasim bin Rabiah Al-Haritsi.

Setelah kedua calon itu menghadap, khalifah lantas menjelaskan maksudnya. Namun, masalah tidak segera tuntas, karena keduanya saling mengunggulkan rekannya. Iyas berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tolong Anda tanyakan tentang diriku dan Al-Qasim kepada dua ulama fikih di Irak, yaitu Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin, karena keduanya paling mampu membedakan antara kami berdua.”

Iyas berkata begitu karena tahu bahwa Al-Qasim adalah murid kedua ulama terkenal itu. Dia sendiri tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka. Tetapi, Al-Qasim sudah menangkap ke mana arah pembicaraan Iyas. Al-Qasim yakin, jika Khalifah Umar bin Abdul Aziz sampai berunding dengan kedua gurunya itu, pasti mereka akan memilih dirinya, bukan Iyas.

Segera Al-Qasim menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, jangan Anda tanyakan tentangku pada siapa pun. Demi Allah, Iyas ini orang yang lebih paham tentang agama Allah dan lebih mampu menjadi hakim daripada aku. Bila aku berbohong dalam sumpahku ini, maka Anda tidak pantas memilihku karena itu berarti Anda memberikan jabatan kepada orang yang cacat. Bila aku jujur, Anda tidak boleh mengutamakan orang yang lebih rendah, sedangkan di sini ada yang lebih utama.”

Mendengar itu, Iyas tidak kurang akal. Dia lalu berargumen, “Wahai Amirul Mukminin, Anda memanggil orang untuk dijadikan sebagai hakim. Ibaratnya, Anda sedang meletakkan orang itu di tepi jahanam. Karena itulah Al-Qasim hendak menyelamatkan diri dengan bersumpah palsu, yang bisa dia tebus dengan meminta ampun kepada Allah, sehingga selamatlah dia dari apa yang ditakutkannya.”

Apa jawab Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikenal adil dan zuhud itu? “Iyas, orang yang mampu berpandangan mulia seperti dirimu inilah yang pantas untuk diangkat menjadi hakim.” Lalu diangkatlah Iyas sebagai hakim di Basrah. Kelak, sejarah mencatat Iyas Al-Qadhi sebagai hakim yang bijaksana dan jujur. Selama menjabat hakim di Basrah, dia mampu memutuskan setiap masalah yang rumit secara cerdas dan sederhana.

Kita tidak usah bermimpi akan mendapati kisah serupa terjadi di zaman sekarang. Bagi orang modern seperti kita, kisah semacam itu hanya isapan jempol. Boleh jadi kita menganggap itu sekadar khayalan indah yang tidak akan terbukti di dunia nyata. Mana ada orang membuang kesempatan emas. Kebanyakan orang justru saling berebut menduduki kursi jabatan elite yang tidak semua orang berkesempatan mendapatkannya.

Orang sekarang sering merasa pandai, tetapi tidak pandai merasa. Apalagi sampai berpikir bahwa jabatan itu amanah. Ah, itu hanya kalimat hikmah saja. Itu cerita jadul alias jaman dulu. Kursi jabatan itu empuk. Kedudukan mentereng itu impian. Kekayaan melimpah itu dambaan. Pamor diri itu prestasi. Sedangkan kesempatan emas tidak datang dua kali. Hanya orang gila yang akan menyiakannya. Pusing amat dengan pendapat orang lain, yang penting kita segera menenggak manisnya harta dan ketenaran.

Tidak sedikit dari kita yang begitu gila harta dan ketenaran. Mudah menghalalkan segala cara supaya lekas sampai tujuan. Apalagi untuk sebuah jabatan atau kedudukan, mana mungkin kita malah menyodorkan nama kawan. Setiap akan digelar pemilihan pemimpin, kita justru sangat rajin mengiklankan diri. Miliaran rupiah kita gelontorkan guna mencetak selebaran dan spanduk berisi gambar kita. Kita poles diri kita demikian rupa agar dapat meraup dukungan. Kita pajang seluruh gelar kita untuk menerbitkan kesan kepintaran. Untuk menarik simpati, kita bumbui dengan sejuta janji indah.

Setiap mencalonkan diri sebagai pemimpin di level mana pun, kita selalu mengaku sebagai yang nomor satu. Menyatakan diri sebagai pemimpin harapan yang akan mengentas segala kesulitan. Untuk meyakinkan orang, di samping gambar kita harus ditempel potret orang-orang terkenal. Entah itu ulama, pimpinan organisasi, elite partai, atau siapa saja. Yang penting mampu mendongkrak perolehan suara kita di ajang pemilihan nanti.

Kita ingin menegaskan bahwa pencalonan kita telah direstui dan didukung oleh tokoh-tokoh yang potretnya nongol di samping gambar kita itu. Lucunya, ada sebuah iklan calon pemimpin yang malah memasang potret tokoh yang sudah almarhum. Mungkinkah tokoh yang berada di ribaan Allah itu masih memberikan restu dan dukungan atas pencalonannya itu?

Di tengah era yang sangat mengagungkan demokrasi ini, rakyat sulit menemukan sosok elite negeri yang menjunjung tinggi moralitas dalam politik. Kepemimpinan bagi kebanyakan elite kita tidak lebih sekadar sarana untuk memperbaiki dapur, memperbesar rumah, ganti mobil, atau menambah pasangan. Itulah profil elite negeri minus nurani dan akal sehat yang setiap hari nongol di media. Masih bisa senyum-senyum saat ditangkap karena ketahuan melakukan korupsi. Kepemimpinan mereka palsu, perjuangan mereka dusta, kecuali untuk membangun kemegahan bagi diri dan keluarga.

Email: [email protected]

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement