REPUBLIKA.CO.ID,
Zakat yang terkumpul saat ini belum optimal membantu fakir miskin.
JAKARTA - Setelah Undang-Undang (UU) Pengelolaan Zakat No 23/2011 direvisi Mahkamah Konstitusi (MK), publik semakin bebas mengelola dan menyelenggarakan zakat dari dana muzakki. Kondisi ini memberi dampak positif dan juga negatif bagi aktivitas pengumpulan dan penyaluran zakat.
Menurut Ketua Forum Zakat (FOZ) Sri Adi Bramasetia, setelah revisi undang-undang tersebut, aktivitas pengelolaan zakat akan semakin bergairah.
“Ini karena para pengelola zakat perseorangan maupun lembaga lainnya pun memiliki kepastian hukum pengelolaan zakat,” ujarnya, Ahad (3/11).
Namun di sisi lain, bertambah banyaknya berbagai lembaga amil zakat (LAZ) dan badan amil zakat (BAZ) bisa berdampak tidak baik, yakni lemahnya pengawasan profesionalisme dan akuntabilitas lembaga zakat.
Untuk itu, dibutuhkan sebuah koordinasi yang lebih terintegrasi antar-LAZ dan BAZ swasta besar agar menjaga profesionalisme dan akuntabilitasnya.
Sebenarnya, MK telah memberikan catatan kepada LAZ dan BAZ perseorangan atau masjid dan mushala untuk menjaga akuntabilitas dan profesionalisme lembaga tersebut dalam mengelola zakat.
Mereka harus melaporkan keuangannya kepada pihak yang berwenang. Sedangkan bagi lembaga amil zakat swasta besar, secara administratif melakukan pelaporan keuangan ke Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).
Secara teoritif, menurutnya, LAZ memang perlu memiliki pengawas. Apabila dilihat dari sisi adminitratif, Baznas memiliki kewenangan itu.
Akan tetapi, ini masih menjadi perdebatan bahwa hubungan LAZ dan Baznas bukanlah hubungan struktural layaknya Bank Indonesia (BI) yang mengawasi bank-bank di Indonesia.
“Oleh karena itu, perlu ada kesepahaman apakah Baznas berfungsi sebagai operator atau hanya sebatas regulator seperti layaknya fungsi BI tadi,” ujarnya.
Selain itu, FOZ menekankan perlunya sebuah peta mustahik secara nasional yang bisa menjadi acuan pelaksanaan distribusi zakat.
Sri menambahkan, dengan adanya peta mustahik ini, koordinasi antar-LAZ untuk mengoptimalkan zakat bagi mustahik bisa lebih bisa mengena.
“FOZ bersama perwakilan LAZ telah berupaya membuat peta mustahik ini. Walaupun belum sempurna namun dalam waktu dekat peta mustahik ini bisa menjadi acuan mustahik di kabupaten dan kota,” katanya.
Wakil Sekretaris Baznas M Fuad Nasar mengatakan, pengawasan dalam pengelolaan zakat tidak cukup hanya pengawasan dari masyarakat saja.
Akan tetapi, diperlukan pengawasan pemerintah secara efektif dan menyeluruh. Terutama, terkait dengan audit syariah dan audit keuangan atas laporan pengelolaan zakat oleh LAZ maupun Baznas.
Ia mengingatkan, pasca keluarnya putusan MK tersebut, peran Baznas sebagai koordinator pengelolaan zakat tetap berjalan. Begitu juga fungsi regulator yang dilaksanakan Kementerian Agama sesuai peraturan perundang-undangan.
Menurutnya, mekanisme pelaporan pengelolaan zakat yang dilakukan oleh mereka yang tidak berbadan hukum sangat diperlukan.
Untuk itu, harus ada regulasi di bawah undang-undang agar pengelolaan zakat tetap terintegrasi dalam satu kesatuan sistem.
Fuad pun memiliki pemahaman yang sama, inti permasalahan zakat yang terjadi sebetulnya bukanlah soal kelembagaan antara pemerintah dan swasta. Tapi, bagaimana zakat yang dihimpun oleh Baznas, LAZ, dan BAZ bisa dioptimalkan.
Ini karena hasil pengumpulan zakat masih jauh di bawah potensi yang ada. Selain itu, belum meratanya akses fakir miskin terhadap zakat yang dihimpun oleh berbagai lembaga zakat.
Oleh karena itu, semua lembaga zakat dan setiap orang yang bertindak sebagai amil zakat harus menyadari bahwa uang zakat yang dikelolanya merupakan milik mustahik yang tidak bisa digunakan semuanya.
Fuad mendukung pembuatan peta mustahik. Peta ini menjadi sangat realistis dikembangkan, terutama untuk memaksimalkan potensi dan dampak zakat terhadap mustahik.
Walau, ada beberapa LAZ yang telah fokus mengembangkan program pemberdayaan sesuai dengan inti program pengembangan zakat LAZ masing-masing.