REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum dan dosen pada Universitas Khairun Ternate, Margarito, mengatakan, Praktik peradilan Indonesia perlu dilakukan secara terbuka.
Menurut dia, bukan hanya proses persidangan saja yang harus terbuka, musyawarah hakim juga perlu terbuka. Sehingga, kata dia, publik bisa ikut serta memantau proses yang terjadi di pengadilan.
“Untuk memperbaiki praktik mafia hukum, caranya harus membuat proses peradilan terbuka bukan hanya pada saat sidang, tetapi musyawarah hakim juga harus terbuka,” ungkap Margarito, Selasa (5/11).
Menurut dia, perlu ada perbaikan dalam sistem record fakta sidang. Begitu juga perlunya eksaminasi setiap putusan sehingga ada perbandingan pendapat yang memungkinkan nalar putusan menjadi transparan.
“Sistem persidangan harus diperbaiki, terutama sistem record fakta sidang. Ada baiknya kita lembagakan eksaminasi setiap putusan, sehingga ada bandingan pendapat. Dengan demikian nalar putusan menjadi transparan,” cetusnya.
Terkait dengan transparansi dan etika, Margarito berpendapat sangat tidak etis ketika seorang pengacara bertemu dengan hakim yang menangani perkara yang sedang disidangkan untuk mempengaruhi hasil putusan pengadilan.
Dalam kasus gugatan pemilik saham publik kepada pemilik saham mayoritas PT Sumalindo Lestari Jaya (SULI) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Jaksel, pengacara tergugat dikabarkan bertemu dengan kepala Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam masa persidangan. “Terlalu sulit bagi saya untuk mengatakan etis,” kata Margarito.
Menanggapi beredarnya kabar pertemuan antara kuasa hukum tergugat dengan kepala PN Jaksel, pengacara SULI Romulo Silaen menegaskan pertemuan tersebut tidak ada kaitannya dengan sengketa yang tengah disidangkan. Alasannya, kata dia, ketua PN Jaksel yang tidak menangani kasus yang sedang disidangkan.
“Apabila ketua PN bukan majelis yang menangani kasus ini, apa kita tidak boleh ketemu? Kalau pertemuan dengan majelis tanpa kehadiran para pihak baru tidak boleh itu,” tutur Romulo Silaen.
Margarito juga menilai adanya pertemuan-pertemuan tertutup antara hakim dan pengacara, pergantian komposisi Majelis hakim sampai tiga kali dalam satu perkara sidang gugatan sebagai sesuatu yang tidak wajar.
“Sulit sekali untuk mengatakan wajar adanya pergantian komposisi majelis hakim sampai tiga kali dalam satu perkara persidangan,” jelas Margarito.
Namun, kuasa hukum PT Suli Romulo Silaen menganggap wajar adanya pergantian komposisi hakim dalam proses persidangan gugatan antarpemilik saham. Menurut dia, hal itu mungkin terjadi karena ada perpindahan salah satu majelis hakim.
“Memang karena ada hakim yang pindah, sehingga perlu diganti,” cetus Romulo.
Sebegaimana diketahui, gugatan perdata pemegang saham publik PT SULI dilayangkan oleh pemegang saham publik, Deddy Hartawan Jamin kepada 11 tergugat yaitu PT Sumalindo Lestari Jaya (SULI), Amir Sunarko, David, Lee Yuen Chak, Ambran Sunarko, Setiawan Herliantosaputro, Kadaryanto, Harbrinderjit Singh Dillon, Husni Heron, Sumber Graha Sejahtera, Kantor Jasa Penilai Publik Benny, Desmar dan Rekan.
Gugatan dilakukan karena pemilik saham minoritas merasa dirugikan dan dipermainkan oleh manajemen yang dimiliki saham mayoritasnya oleh Putra Sampoerna dan Hasan Sunarko.
Pihak penggugat menganggap manajemen mengabaikan asas-asas good coorporate governance, selain juga dianggap banyak mengabaikan keputusan hukum yang sudah berlaku sehingga dinilai merugikan banyak pihak.