Kamis 07 Nov 2013 15:39 WIB

APINDO: Tuntutan Buruh Penyelundupan Kepentingan

Rep: Irfan Abdurrahmat/ Red: Djibril Muhammad
 Ribuan buruh melakukan aksi mogok kerja di kawasan industri EJIP Cikarang, Jawa Barat, Jumat (1/11).  (Republika/ Tahta Aidilla)
Ribuan buruh melakukan aksi mogok kerja di kawasan industri EJIP Cikarang, Jawa Barat, Jumat (1/11). (Republika/ Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kota Bekasi, Jawa Barat, menyatakan keberatannya atas tuntutan buruh untuk menaikkan Upah Minimum Kota (UMK) sebesar 40 persen pada 2014 mendatang.

Ketua Apindo Kota Bekasi Purnomo Narmiadi, saat ditemui Republika, Kamis (07/11), mengatakan, tuntutan buruh ini sangat tidak relevan.

Sebab, UMK ini, sejatinya adalah batas terendah yang akan menjadi patokan upah di Kota Bekasi untuk pekerja baru. "Pekerja baru di sini yakni lulusan SMK ataupun SMA. Hal ini jelas tidak relevan," katanya menegaskan.

Dia menjelaskan, bagaimana jadinya UMK Kota Bekasi yang sebelumnya, Rp 2,1 juta minta adanya kenaikan 40 persen menjadi Rp 2,9 juta untuk 2014 mendatang. Hal ini jelas ada kepentingan terselubung.

"Apabila keinginan buruh ini meminta adanya kenaikan upah kerja, maka seharusnya mereka menyuarakannya ke perusahaan tempat dimana mereka bekerja. Bukan harus aksi dan mogok nasional lalu melakukan tekanan-tekanan terhadap pemerintah. Hal ini jelas seperti adanya penyelundupan kepentingan," ungkapnya.

Dia menerangkan, UMK dan upah buruh ini dua hal yang jauh berbeda. Menurutnya, banyak elemen buruh yang tidak mengetahui hal ini. UMK misalnya, sebuah indikator batasan terendah untuk memberi upah kepada pekerja minimal lulusan SMK atau SMA.

Sementara upah buruh, ia menambahkan, adalah sistem pengupahan yang dilihat dari lamanya seorang pekerja bekerja di suatu perusahaan.

"Korelasinya seperti ini, semakin lama pekerja bekerja di salah satu perusahaan, maka upahnya akan terus meningkat. Namun, apabila UMK dinaikkan, maka akan berdampak kepada pekerja yang sudah bekerja lama untuk meminta kenaikan upah kembali. Apabila hal ini dikabulkan, maka tingkat pengangguran khususnya di Kota Bekasi akan bertambah," katanya menjelaskan.

Ia menambahkan, sejauh ini UMK Kota Bekasi masih terbilang tinggi apabila dibandingkan dengan kota lainnya di Jawa Barat. Tuntutan kenaikan sebesar 40 persen ini, sambungnya, justru tanpa disadari akan merugikan pekerja itu sendiri.

Sebab, tidak sedikit perusahaan memilih untuk tutup dan pindah ke daerah yang kisaran UMK di kota tersebut lebih rendah dibandingkan di Bekasi. "Ada tujuh perusahaan yang sudah tutup saat ini melihat kekisruhan tuntutan serikat pekerja ini," ujarnya.

Perihal pernyataan seputar upaya penambahan item kehidupan layak yang tadinya 60 komponen menjadi 80, Purnomo menegaskan, ini sikap sembrono yang dilakukan buruh.

"Perubahan perihal komponen KHL tidak bisa diputuskan begitu saja di tingkat pemerintah kota/kabupaten, tetapi harus ditetapkan oleh pemerintah pusat," keluhnya.

Purnomo menjelaskan, tahun lalu saja, penetapan UMK Kota Bekasi sudah ditetapkan di atas komponen KHL. "Tahun lalu KHL Rp 1,6 juta dan ditetapkan UMK Kota Bekasi sebesar Rp 2,1 juta," katanya.

Dia memaparkan, banyak massa buruh yang ditunggangi oleh beberapa pihak tertentu untuk memaksa menuntut kenaikan UMK ini.

"Tuntutannya kan aneh sekali. Masa untuk hal item KHL meja kursi misalnya. Ada pekerja yang meminta standarnya meja kursi ini seperti yang ada di mebeler. Seperti meja jati dan kursi jati. Ini kan sudah ngaco," katanya menegaskan.

Dia menegaskan, pemerintah sebaiknya tidak terpancing dengan gertakan serikat pekerja ini. "Toh nantinya pemerintah juga yang akan rugi apabila banyak perusahaan yang angkat kaki dari Kota Bekasi," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement