REPUBLIKA.CO.ID, Bagaimana perempuan kulit putih menjadi Muslim. Itulah pertanyaan yang sering dialamatkan kepada Susannah.
"Banyak yang bertanya kepada saya soal itu. Bagaimana saya memutuskan menjadi Muslim," kenang dia seperti dilansir onislam.net, Kamis (7/11).
Susannah dibesarkan di AS dalam keluarga kelas menengah. Keluarganya memiliki latar belakang Kristen, tapi tidak cukup intens menghadiri gereja. Agama hanya berposisi sebagai tradisi.
"Yang aku ingat soal ajaran Kristen adalah soal Yesus," kenang dia.
Perkenalannya dengan Islam di mulai ketika ia mengikuti kelas sejarah dunia. Saat itu, Susannah masih kelas sembilan. "Aku ingat, saya tidak bisa memasuki masjid karena mengenakan celana pendek," kata dia.
Yang menjadi pertanyaan Susannah, mengapa dilarang memasuki masjid meski sebenarnya ia mengenakan pakaian yang cukup sopan untuk ukuran Amerika."Lalu imam masjid itu berkata kepada saya dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, intinya saya merasa terkesan dengan hal tersebut," kenangnya.
Satu setengah tahun kemudian, tetangga barunya bernama Umm Ali. Susannah diundang makan bersama tetangganya. Satu hal yang mengejutkannya, yakni umm Ali mengenakan pakaian yang menutup dari kepala hingga kaki.
Awalnya, Susannah merasa tidak nyaman dengan hal itu. Tapi sikap tetangganya yang ramah meluluhkannya. "Islam, kata Umm Ali, mengajarkan kepada kami menghormati tetangga. Anda tetangga saya, dan saya harus menghormati Anda," kata Susannah menirukan suara Umm Ali.
Susanna benar-benar kikuk saat itu. Lidahnya seolah pelu. "Kami menjadi bersahabat. Bagi Umm Ali, saya merupakan sahabat non-Muslim paling dekat," kenang dia.
Seiring perjalanan waktu, keduanya kerap terlibat diskusi agama. Tapi memang lebih banyak Susannah yang bertanya soal Islam. Memasuki bulan Ramadhan, Umm Ali mengundangnya sahur dan berbuka puasa.
"Rasa sayangnya, prilakunya benar-benar mengena dihatiku. Tapi saya waktu itu belum tertarik belajar tentang Islam," kata dia.
Memasuki jenjang kuliah, Susannah mulai serius mempelajari agama. Ia memulainya dengan mempelajari Yahudi, Budha, dan Hindu. Saat itu, Umm Ali mulai menyadari bahwa Susannah tengah mencari bimbingan. Ia pun dengan rasa kasih sayang coba membantunya.
"Satu malam saya bermimpi, saya dikelilingi kegelapan semua sisi, dan dari kejauhan ada cahaya yang terang, ada teman yang menelpon saya, tapi saya tidak bisa pergi bersamanya menuju cahaya itu," kenang dia.
Mimpi itu adalah titik klimaks bagi Susannah. "Apakah Islam yang bisa membawaku ke cahaya itu. Ternyata..ehmm, Islamlah jalan itu. Saya pun pergi mengambil syahadat, Alhamdulillah," kata dia.
Susannah mengaku Islam memberikan jawaban yang logis terhadap setiap pertanyaan yang ada dipikirannya. Ini yang tidak diperoleh dari ajaran agama yang dipelajari sebelumnya.
Satu catatan penting yang diperoleh Susannah, Islam menghormati posisi perempuan baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lainnya. "Saya benar-benar bersyukur," kata dia.
Seperti halnya mualaf lain, Susannah mendapat penolakan dari keluarganya. Pada titik tertentu, ia menerima hal ini dengan harapan kondisi ini merupakan hal yang normal.
"Saya percaya, pada akhirnya keluarganya saya bisa menerima itu. Tapi yang penting, saya mengabdi kepada Allah, menjadi Muslim yang baik, Insya Allah," ungkapnya.