Jumat 08 Nov 2013 11:31 WIB

Bolehkah Berpuasa Muharram Sebulan Penuh?

Berpuasa
Foto: futurity.org
Berpuasa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah

Barang siapa yang berpuasa sebulan penuh, tak boleh dikecam dan dituding macam-macam lantaran ada rujukan dalilnya. Puasa separuh awal Muharram sangat utama.

Muharram, merupakan salah satu bulan yang istimewa. Keutamaan bulan pertama dalam sistem penanggalan Hijriah ini, terekam di sejumlah dalil Alquran ataupun hadis.

Surah at-Taubah ayat 36 menyebut Muharram termasuk empat bulan yang dimuliakan yaitu Dzulqadah, Dzulhijjah, dan Rajab.

Tak sedikit Muslim yang memutuskan untuk berpuasa penuh sepanjang bulan Suro dalam tradisi Jawa tersebut. Apa hukumnya?

Jalal bin Ali Hamdan as-Sulami menjawab pertanyaan ini dalam makalahnya yang berjudul Dirasat Ushuliyyah Haditsiyya li Shaum Asyura.

Ia mengungkapkan, para ulama sepakat boleh berpuasa sepanjang Muharram, dan hukumnya sunah. Bukan wajib. Pandangan ini disampaikan oleh Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafii.

Pernyataan ini merujuk pada hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah. Rasulullah SAW bersabda, puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan, ialah puasa pada Muharram. Penekanan anjuran bertambah pada hari kesembilan, ke-10, dan ke-11 di bulan yang sama.

Dalam riwayat lain, memang Rasul juga dikisahkan tak pernah melewatkan puasa Syaban. Tetapi, Imam Nawawi menjelaskan, mengapa Rasul lebih tampak berpuasa Syaban dibandingkan Muharam.

Menurut Nawawi, bisa jadi ini karena beberapa faktor, misalnya keutamaan puasa Muharam itu terungkap di akhir hayatnya hingga ia belum sempat berpuasa atau karena ada uzur, seperti bepergian ataupun sakit.

Dalam kitab Lathaif al-Maarif, Ibnu Rajab al-Hanbali mengemukakan, hadis riwayat Muslim di atas, secara tegas menguatkan fakta bahwa puasa sunah setelah berpuasa wajib Ramadhhan, adalah puasa di empat bulan yang diutamakan. Kemungkinan, puasa yang dimaksud adalah berpuasa selama sebulan penuh.

Secara terpisah, anggota Dewan Ulama Senior Kerajaan Arab Saudi Syekh Muhammad Muhammad al-Mukhtar as-Syanqithi mengatakan, puasa yang utama setelah Ramadhan ialah berpuasa di bulan-bulan yang diharamkan asyhur al-hurum, terutama Muharram. “Dalilnya adalah riwayat Muslim,” ungkapnya.

Ia menambahkan, boleh hukumnya berpuasa sebulan penuh, atau selang-seling (sehari berpuasa sehari berikutnya tidak), atau berpuasa separuh bulan tersebut.

Penekannya ialah pada hari ke-10 (asyura) dan kesembilan. Anjuran berpuasa di kedua hari tersebut, landasannya sangat kuat.

Syekh as-Syanqithi tidak setuju dengan penolakan sejumlah kalangan atas berpuasa sebulan penuh sepanjang Muharram oleh sebagian kalangan. Sebab, Rasul menganjurkan berpuasa di bulan itu. “Penolakan itu tidak tepat,” katanya.

Maka, barang siapa yang berpuasa sebulan penuh, tak boleh dikecam dan dituding macam-macam. Sebaliknya, ia akan mendapatkan pahala.

Pendapat ini juga menjadi ketetapan fatwa yang dikeluarkan oleh Komite Tetap Kajian dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi.

Puasa asyura

Syekh Jalal kembali menguraikan persoalan berikutnya, yakni perihal hukum berpuasa di hari ke-10 atau lebih sering dikenal dengan istilah asyura.

Para ulama sepakat, hukum berpuasa asyura ialah sunah. Ini seperti dinukilkan oleh Ibnu Rusyd dalam mahakaryanya, Bidayat al-Mujtahid.

Pandangan ini disandarkan pada hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah. Hadis itu menyebutkan, rententan pahala puasa tersebut, yakni menghapus dosa kecil setahun yang lewat.

Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan, hukum berpuasa asyura wajib sebagaimana penegasan hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asyari.

Hanya saja, kata Qadi Iyadh dalam kitab al-Ikmal, opsi ini tak lagi populis, bahkan pengusungnya dipastikan sudah tidak ada lagi karena pascaturunnya perintah berpuasa wajib Ramadhan, kewajibannya telah teralihkan.

Lalu, bolehkah berpuasa tunggal di hari asyura saja? Menurut Mazhab Hanafi dan Syafii, makruh hukumnya bila berpuasa asyura saja. Sekalipun yang bersangkutan tetap berhak atas pahala. Ini merujuk pada riwayat Abu Qatadah di atas. Sedangkan dalam pandangan Mazhab Maliki dan Hanbali, tidak ada unsur makruh di sana.

Karena itulah, lanjut Syekh Jalal, dianjurkan berpuasa di hari kesembilan Muharram. Para ulama, seperti ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu Syarh Muhadzab.

Anjuran berpuasa hari kesembilan atau sering disebut dengan tasua itu mengacu pada hadis riwayat Muslim dari Ibnu Abbas.

Rasul menyerukan imbauan itu agar tidak sama dengan tradisi Kaum Yahudi. Demikian halnya, anjuran agar berpuasa pula di hari ke-11 Muharram.

Para ulama tak berselisih pandang menyoal hukum berpuasa di hari tersebut. Menurut mereka, selain berfaidah untuk membedakan dengan tradisi Yahudi, juga sebagai langkah antisipasi ketidaktepatan akibat penanggalan yang tak sesuai.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement