Sabtu 09 Nov 2013 12:09 WIB

Satwa Langka Masih Dikonsumsi di Sulawesi Utara?

Anoa
Foto: www.indonesianfauna.com
Anoa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi sebagian masyarakat Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), kebiasaan menyantap makanan yang untuk ukuran orang normal sering dianggap kurang lazim seolah menjadi hal lumrah.

Sebut saja makanan berbahan daging tikus, kelelawar, anjing hingga ular dan tikus. Meski mayoritas masyarakat menganggapnya ekstrem, hidangan semacam ini memang belum banyak dipermasalahkan.

Namun bagaimana jika satwa liar yang masuk kategori hewan langka juga ikut dijadikan santapan? Seperti anoa dan ketam kenari (kepiting kelapa), yang ternyata di sejumlah wilayah di Sulut diakui masih kerap dikonsumsi.

Pertanyaan yang menyuarakan keprihatinan ini diajukan mahasiswi jurusan Fakultas Kesehatan, Vera Junifer Tumbuan, 18, saat sesi tanya jawab dalam kuliah umum bersama Menteri Kehutanan (Menhut) Republik Indonesia, Zulkifli Hasan, di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, Sulawesi Utara, Jumat (8/11).

"Sebagian besar masyarakat di Sulawesi Utara terkenal memiliki kebiasaan mengonsumsi satwa (langka) liar seperti anoa, ketam kenari, kera dan sebagainya. Bagaimana ketegasan, sanksi konkret yang bisa ditegakan di Indonesia agar kelestarian satwa bisa dipertahankan?," tanya Vera kepada Menteri Zulkifli. 

Menjawab pertanyaan itu, Menteri Zulkifli menegaskan perlindungan satwa langka seperti anoa sudah diatur dalam undang-undang. Hukuman bagi pelanggar juga sudah jelas, yaitu ditangkap dan terancam sanksi maksimal lima tahun penjara.

Namun, lanjutnya, proses hukum biasanya diberlakukan setelah pihaknya melakukan peringatan terlebih dahulu. Peringatan bisa berbentuk imbauan hingga sosialisasi mengenai larangan mengonsumsi satwa dilindungi.

"Jadi memang, awal awal kita ingatkan dulu. Kita ingatkan, kita sosialisasikan tidak boleh hal itu...kalau berkali kali diingatkan tidak mempan ya ditangkap," kata Zulkifli.

Ia juga mengingatkan, selain ada hak-hak asasi manusia, saat ini dikenal juga istilah animal rights (hak-hak satwa) dan animal walfare (kesejahteraan satwa). Jadi, layaknya manusia, hewan juga tidak boleh diperlakukan sewenang- wenang, apalagi hewan yang dilindungi. 

"Maka tidak boleh (diperlakukan sewenang-wenang) lagi. Apalagi dimakan," kata dia.

Penjabat Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Sony Partono, saat ditemui usai acara mengatakan perlindungan tentang hewan satwa langka sudah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.

Hukuman bagi yang melanggar pun diatur di sana. Yaitu, pelanggar bisa dipidanakan dengan sanksi penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah. Aturan soal itu tertuang dalam pasal 40 ayat 2 di UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.

"Namun sebelumnya melalui balai konservasi setempat kita lakukan pendekatan dulu kepada pelaku, dengan memberikan peringatan," kata Sony saat ditemui ROL usai kuliah umum di Sam Ratulangi, Manado, Jumat (9/10). "Dalam beberapa kasus, kita berhasil mengubah kebiasaan pelaku."

Kuliah umum bertema "Pemuda: Pelopor Pembangunan Hijau (Green Development)" digelar di Ruang Sidang Gedung  Rektorat Universitas Sam Ratulangi pada Jumat pagi. Selain Menhut Zulkifli, dua narasumber lain yang hadir, Rektor Unsrat, Prof Donald Rumakoy dan Bara K Hasibuan Walewangko dari Rumah Gagasan PAN. 

Kunjungan ke Universitas Sam Ratulangi merupakan bagian dari rangkaian kegiatan kunjungan dua hari Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan ke Sulawesi Utara.

Sebelumnya pada hari Kamis (7/11), Menhut juga menghadiri Temu Rimbawan di Balai Penelitian Kehutanan Manado dan juga melakukan pencanangan Hutan Kota Tondano dan Gerakan Minahasa Menanam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement