REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapatkan fasilitas tambahan, yakni dana pensiun selain gaji dan tunjangan yang nilainya mencapai Rp 60 juta.
Dana pensiun ini diberikan kepada anggota DPR dengan nilai yang berbeda-beda tergantung rentang waktu anggota tersebut menjadi wakil rakyat.
Kebijakan ini menjadi masalah jika anggota DPR tersangkut kasus korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kemudian terbukti dalam Pengadilan Tipikor. KPK mengaku tidak dapat mencapuri soal kebijakan tersebut.
"Itu kan kewenangannya DPR, KPK nggak punya kewenangan soal dana pensiun itu," kata juru bicara KPK, Johan Budi SP yang dihubungi Republika, Ahad (10/11).
Johan menambahkan adanya dana pensiun kepada anggota DPR yang menjadi terpidana kasus korupsi bukan merupakan efek jera yang dapat dilakukan KPK. Pihaknya hanya dapat melakukan penindakan dengan menuntut hukuman pidana seberat-beratnya untuk para pelaku korupsi sebagai efek jera.
Hukuman pidana berat itu, lanjutnya, akan menjadi peringatakn bagi para pejabat dan penyelenggara negara, seperti para anggota DPR untuk tidak melakukan korupsi.
Sedangkan mengenai dana pensiun tersebut, menurutnya hal itu menjadi kewenangan DPR untuk melakukannya. Ia menyontohkan DPR dapat memberikan efek jera kepada anggota DPR yang menjadi terpidana kasus korupsi dengan meniadakan dana pensiun.
"Itu DPR yang punya kebijakan efek jera itu, harusnya sih tinjau ulang saja. Kalau KPK memiliki kewenangan itu mungkin akan dilakukan sebagai efek jera," tegas Johan.