Ahad 10 Nov 2013 22:00 WIB

Pemerintah Dinilai Belum Seriusi Konversi BBM ke BBG

Rep: Eko Widiyanto/ Red: Yudha Manggala P Putra
   Antrean kendaraan bajaj yang mengisi bahan bakar gas (BBG) menggunakan Mobile Refueling Unit (MRU) di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Rabu (4/9).    (Republika/Prayogi)
Antrean kendaraan bajaj yang mengisi bahan bakar gas (BBG) menggunakan Mobile Refueling Unit (MRU) di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Rabu (4/9). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Makin besarnya defisit APBN akibat besarnya subsidi BBM, perlu diwaspadai. Pengamat Energi yang juga Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, menyebutkan kondisi tersebut bisa menyebabkan efek domino yang pada akhirnya menjalar pada kondisi krisis ekonomi.'

"Ini yang perlu saya ingatkan, karena kondisi saat ini yang sudah menjadi triple defisit, yakni defisit neraca keuangan, defisit perdagangan, dan defisit APBN, bisa menyebabkan kondisi krisis yang berkepanjangan,'' jelasnya, saat berbicara dalam seminar 'Kedaulatan Energi' di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Sabtu (10/11).

Menurutnya, salah satu cara untuk menekan defisit APBN yang disebabkan oleh tingginya subsidi BBM, tidak bisa hanya diatasi dengan pembatasan penggunaan BBM. Namun harus diatasi dengan sejumlah program yang komprehensif.  Salah satunya adalah program konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG).

Dia menyebutkan, sejak program konversi minyak tanah ke bahan bakar gas sebagai pengganti kebutuhan rumah tangga dilaksanakan tahun 2007, program konversi ini seperti terhenti.

Program konversi BBM ke BBG pada kendaraan bermotor yang diharapkan bisa menekan tingkat konsumsi BBM seolah setop begitu saja.  Akibat kondisi ini, tingkat bauran energi tidak bisa optimal.

''Hingga saat ini, pertumbuhan konsumsi premium masih mencapai kurang lebih 8 persen per tahun dan solar sekitar 5 persen per tahun,'' katanya.

Marwan bahkan menyebutkan, ke depan pertumbuhan konsumsi BBM ini akan semakin besar karena pertumbuhan kendaraan bermotor yang makin besar. Bila saat ini pertumbuhan kendaraan roda empat adalah  800 ribu-1 juta unit per tahun, maka dengan adanya program mobil murah, jumlah kendaraan roda empat ini akan meningkat pesat.

''Dengan kondisi ini, maka bila pada tahun 2012 defisit di sektor migas 5,6 miliar dolar AS, maka defisit migas ke depan akan terus mengalami kenaikan,'' katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement