REPUBLIKA.CO.ID, Kerasnya hidup di kota metropolitan menuntut mobilitas yang sangat tinggi. Padatnya aktivitas mencari nafkah, tak jarang menggerus nilai spiritualitas seseorang. Ini bukan tanpa efek samping, kata Ustaz Najmuddin Shiddin.
Menurutnya, dampak padatnya aktivitas mencari nafkah dan duniawi bagi dimensi rohani seseorang adalah hilangnya rasa kedamaian dan ketenteraman hati.
Mereka akan lebih sering stres dan tubuh yang tidak mampu menanggungnya akan jatuh sakit. ”Jika abai kebutuhan spiritual maka merugilah,” ujarnya.
Ia pun mengutip surah al-Ma'arij ayat 15-19. "Sekali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah apa yang bergejolak, yang mengelupas kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakangi dan yang berpaling dari agama serta mengumpulkan harta benda lalu menyimpannya, sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir."
Najmuddin mengungkapkan, tergerusnya spiritual justru malah dapat menjadikan mereka selalu berkeluh kesah dan semakin kikir. Hal itu karena mereka hanya menumpuk harta tanpa memedulikan kebutuhan rohaninya.
Penyebab utamanya adalah terkikisnya keimanan yang dimiliki. Harta yang diperoleh pun tak jelas sumbernya, kalaupun halal, enggan berbagi.
Dengan keimanan yang menipis, papar Najmuddin, mereka tidak lagi memedulikan cara dan usaha yang halal untuk mengumpulkan hartanya. Sementara, rezeki yang diperoleh tak kunjung disedekahkan sebagiannya. “Padahal, ada hak orang lain di sana,” tambah Najmuddin.
Dampak susutnya keimanan itu pula, papar Najmuddin, ialah munculnya paradigma materi adalah puncak kebahagiaan. Padahal, hakikat bahagia menurut perspektif Islam, adalah ketenteraman dan kedamaian jiwa.
Ketenangan batin itu bisa diperoleh, antara lain, dengan bersyukur serta mengaisnya dengan cara yang halal. Ini penting, mengingat makanan haram akan mendarah daging melalui aliran darah.
Akibatnya, bisa memicu efek domino. Otak berpikir jahat, lalu menjalar ke hati yang mendorong pada iri dan dengki. Najmuddin pun mengutip surah al-Munafiqun ayat ke-9. Hendaknya harta dan anak tidak lantas melalaikan fokus seorang Muslim.
Empat cara, sebut Najmuddin, yang bisa ditempuh guna menyeimbangkan antara aktivitas duniawi dan ukhrawi.
Cara tersebut di antaranya dengan memperbanyak membaca Alquran dengan terjemahannya, melaksanakan shalat lima waktu dengan tepat waktu, infak dan sedekah serta meluangkan waktu untuk menghidupkan majelis taklim.
Sementara itu, Ustaz M Zaaf Fadhlan Rabbani al-Gharamatan mengatakan, kerasya metropolitan bukan masalah bagi Muslim dengan modal spiritual yang kuat. Mereka akan istiqamah untuk menyeimbangkan antara kebutuhan dunia dan akhiratnya.
Sedangkan bagi mereka yang minim spiritualitas adalah orang yang hidup tanpa mengerti kehidupan. Ia pun memberikan contoh, misalnya seorang karyawan yang tega meninggalkan shalat hanya lantaran menemui panggilan atasan untuk rapat. “Hal itu tidak dibenarkan," ujarnya.
Penyabet penghargaan Tokoh Perubahan Republika 2011 ini memberikan saran, mereka bisa menghentikan rapat untuk sementara dan dapat dilanjutkan seusai shalat lima waktu.
Mereka harus percaya setelah melaksanakan shalat akan berdampak pada kesuksesan dan dipermudah oleh Allah SWT. “Jangan tunda-tunda shalat untuk waktu yang panjang,” katanya
Fadhlan mengatakan, mereka yang terlena dengan kehidupan dunia dan isinya tergolong pecinta dunia (hubbuddunya). Mereka terlalu takut risiko hidup miskin.
Padahal, dengan menempatkan spiritualitas, segala urusan dunia dapat dengan mudah dicapai. "Surga dunia dan akhirat akan mudah digapai,” tuturnya.
Guna menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat, papar Fadhlan, diperlukan pendidikan keagamaan sejak dini. Bekal keagamaan dibutuhkan bagi umat Muslim yang hidup di metropolitan agar mampu bertahan tanpa meninggalkan ibadah dan akidahnya.
Ketahanan juga akan muncul, tambahnya, bila berada di pusaran orang kaya. Tetap bertahan menjalankan ibadah meski di tengah orang-orang non-Muslim. Dengan memperkokoh spiritualitas, terhindarlah dari godaan materi dan jauh dari cinta dunia yang berlebihan.