REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar FH UI Hikmahanto Juwana mengatakan, pascaprotes keras Menlu Natalegawa atas penyadapan AS dan Australia, pemerintah jangan sampai bersikap melunak. Apalagi bila penjelasan tersebut tidak memadai,.
"Penyadapan merupakan pelanggaran serius atas etika hubungan internasional. Ini juga melanggar norma hukum internasional," kata Hikmahanto, Senin, (11/11).
Menurut Hikmahanto, terdapat dua alasan mengapa pemerintah harus bertindak tegas. Pertama, negara lain seperti Perancis, Jerman dan Brasil sudah menunjukkan sikapnya yang sangat keras. Disamping memanggil kepala perwakilan AS, kepala pemerintahan negara tersebut telah menelpun secara langsung Presiden Obama.
"Mereka menunjukkan ketidaksenangan mereka karena AS selama ini melakukan hubungan yang tidak didasarkan pada kepercayaan. Bahkan Jerman dan Brazil telah mengajukan secara resmi draf resolusi atas hak privasi untuk mencegah penyadapan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa," kata Hikmahanto.
Saat ini, terang Hikmahanto, Cina dan Malaysia sudah melayangkan protes keras dan memanggil kepala perwakilan dari dua negara tersebut. Bila pemerintah Indonesia bersikap business as usual pascaprotes keras Menlu Natalegawa maka telihat janggal, bahkan publik akan menganggap aneh bila negara jiran Malaysia saja bisa bersikap keras dan tegas.
Bila pemerintah tidak bersikap keras dan tegas maka kemarahan publik di Indonesia akan beralih dari AS dan Australia menjadi kemarahan terhadap pemerintahan, bahkan, Presiden SBY. "Mereka akan mempertanyakan sikap pemerintah yang adem ayem saja," ujar Hikmahanto.
Kemarahan publik, kata Hikmahanto, akan semakin menjadi bila respon Presiden SBY terkait penyadapan ini tidak sebanding dengan respons Presiden ketika menanggapi Bunda Putri. Presiden harus paham publik Indonesia merupakan konstituen beliau sehingga kemarahan publik harus dicerminkan dalam menyikapi masalah penyadapan ini kepada pemerintah AS dan Australia.
Dalam menyikapi penyadapan, lanjut Hikmahanto, tentu pemerintah tidak perlu berkelit bahwa tidak ada bukti atau perlu waktu untuk pembuktian sebelum bersikap lebih tegas. Masalah penyadapan sulit untuk dibuktikan Kepolisian Indonesia, bahkan Badan Intelijen Nasional sekalipun tidak mungkin melakukan verifikasi ke Keduataan Besar (Kedubes) dua negara yang diduga memiliki instrumen penyadapan karena adanya aturan wilayah Kedubes memiliki kekebalan.
Bila pemerintah mengemukakan alasan pembuktian, kata Hikmahanto, sementara negara-negara lain tidak melakukan proses pembuktian maka publik Indonesia justru akan menganggap pemerintah sekedar mengada-ada dan hendak melindungi kedua negara tersebut.