Selasa 12 Nov 2013 14:22 WIB

Ini Resep Agar Indonesia Tidak Terganggu oleh Krisis Ekonomi

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
Bambang Brodjonegoro
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Bambang Brodjonegoro

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Kondisi perekonomian global yang tidak menentu dapat membuat krisis ekonomi melanda suatu negara, termasuk Indonesia, kapan saja. Oleh karena itu, dibutuhkan stabilitas fundamental makroekonomi yang kuat.

Salah satu upaya ke arah itu dapat dicapai melalui reformasi struktural. "Hanya itu cara kita supaya tidak terlalu terganggu oleh krisis," ujar Wakil Menteri Keuangan II Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, Selasa (12/11).

Bambang menyampaikan hal itu saat memberikan kuliah umum bertajuk 'Kebijakan Fiskal Meredam Gejolak Harga dan Rupiah' di Gedung Pascasarjana Fakultas Ekonomi, Kampus Universitas Indonesia, Depok, Selasa (12/11). Bagaimana cara menjaga stabilitas makroekonomi? Bambang menyebut terdapat lima aspek yang harus dikendalikan.  Pertama, menjaga pertumbuhan ekonomi pada level yang moderat. Kedua, mengendalikan inflasi.

Ketiga, defisit transaksi berjalan harus ditahan pada tingkat yang wajar. Keempat, defisit anggaran dijaga pada level yang aman. Kelima, mengendalikan rasio utang pemerintah. "Inilah variabel-variabel makroekonomi yang harus kita jaga," ujar Bambang.  Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai triwulan III 2013 secara kumulatif tercatat 5,83 persen.  Terbaru, triwulan III 2013, pertumbuhan tercatat 5,62 persen.

Sementara inflasi pada Oktober 2013 mencapai 8,32 persen.  Kemudian defisit transaksi berjalan per triwulan II 2013 mencapai 9,8 miliar dolar AS atau 4,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).  Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2013 diproyeksikan 2,39 persen.  Terakhir, rasio utang terhadap PDB pada 2013 ditargetkan sebesar 23 persen.  Dari sisi sektor keuangan, Bambang menyebut kondisinya relatif baik.

Terdapat dua indikator yang menjadi acuan dari sektor tersebut dari sisi perbankan yakni Non Performing Loan (NPL) dan Capital Adequacy Ratio (CAR).  Berdasarkan data Bank Indonesia per Juni 2013, NPL tercatat 1,9 persen dan CAR 18,0 persen.  Fungsi intermediasi yang dipegang oleh sektor keuangan dan perbankan, menurut Bambang juga harus dijaga.  Tujuannya agar saat perekonomian terganggu, fungsi intermediasi pun tidak terganggu.

"Kalau fungsi intermediasi terganggu, maka ekonomi kita akan collaps seperti krisis 1998."  Terkait reformasi struktural, ujar Bambang, harus didukung oleh kebijakan-kebijakan yang sifatnya jangka menengah dan panjang.  Selain bertujuan memperbaiki defisit neraca perdagangan, kebijakan juga harus diarahkan agar defisit transaksi berjalan tidak melebar.  Bambang mengambil contoh tingginya ketergantungan pada komoditas.

"Jangan pernah bergantung pada sektor komoditas karena sangat dipengaruhi gejolak harga yang tidak dapat diprediksi.  Kita harus berpikir sektor manufaktur harus diperkuat, khususnya yang menjadikan pertambangan dan pertanian menjadi input.  Kalau itu tidak pernah kita address, maka mau kapanpun krisis, kita tidak akan pernah siap," kata Bambang yang hingga saat ini masih merangkap jabatan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement