REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusaha menilai kebijakan ekonomi yang ditelurkan pemerintah tidak jelas arahnya. Hal ini mengakibatkan biaya produksi yang harus dikeluarkan menjadi besar. "Misalnya saja kebijakan energi, itu arahnya kemana? katanya kita punya banyak gas, tapi kita juga mengalami kekurangan listrik gara-gara tidak ada gas," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi di kantor Kementerian Perdagangan, Selasa (12/11).
Ia mengatakan beban pengusaha akan semakin berat dari tahun ke tahun. Industri akan berhadapan pada kenaikan bunga kredit, Upah Minimum Provinsi (UMP) dan juga Tarif Dasar Listrik (TDL). Di sisi lain, kenaikan semua unsur tersebut tidak dibarengi dengan pembenahan infrastruktur. Alhasil, biaya logistik pun semakin membengkak.
Lebih jauh, ia menyarankan agar pemerintah tidak terlalu banyak berharap pada kerjasama kesepakatan ekonomi dengan pihak asing, termasuk forum World Trade Organization (WTO). Pertemuan ini digadang akan membahas tiga isu penting, yaitu pertanian fasilitas perdagangan dan pembangunan. "Saya tidak melihat WTO ada manfaatnya," katanya.
Sebelumnya, Dirjen Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahajana mengingatkan agar pemerintah cermat mengatur strategi dalam setiap kerjasama internasional. Ia melihat diperlukan kebijakan nasional yang bisa mengatur dampak liberalisasi perdagangan. "Ini mengingat daya saing kita masih rendah sekali, termasuk daya saing infrastruktur," katanya.
Pemerintah seharusnya hanya menyetujui kesepakatan yang benar-benar menguntungkan. Pemerintah pun jangan ragu menaikkan bea masuk yang masih rendah dibandingkan negara lain sebesar 7 persen. Sedangkan di Cina bea masuk sekitar 10 persen, India (13 persen), Korea (13 persen), dan Brazil (13 persen).