Rabu 13 Nov 2013 07:22 WIB

Pengamat Minta Indonesia Waspadai Australia Soal Suaka

Hikmahanto Juwana
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Hikmahanto Juwana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Internasional Hikmahanto Juwana meminta pemerintah dan publik Indonesia untuk mewaspadai manuver kebijakan pemerintah Australia dalam menangani pencari suaka.

"Dalam penanganan pencari suaka, pemerintahan (PM Tony) Abbott selalu ingin mengambil kebijakan yang bersifat unilateral, egosentris dan berpotensi merendahkan Indonesia," kata Hikmahanto di Jakarta, Rabu.

Ia merujuk pada sikap PM Tony Abbot dan Menteri Perbatasan Scott Morrisson atas pernyataan Deputi Urusan Politik Wakil Presiden, Dewi Fortuna Anwar bahwa Indonesia sedang berunding dengan Australia terkait pencari suaka.

Indonesia disebutkan akan menerima pencari suaka yang ditolong oleh kapal Australia sepanjang Australia mau menerima dalam jumlah yang sama para pencari suaka yang berada di rumah detensi Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.

"Ide pertukaran pencari suaka yang diungkap oleh Dewi Fortuna Anwar sebenarnya merupakan solusi win-win(saling menguntungkan,red). Namun sepertinya ini tidak akan diterima oleh pemerintah Australia," katanya.

Hikmahanto menyatakan PM Abbot dan Morrisson seolah hendak menolak kabar tersebut dengan menyatakan tidak ingin berkomentar dan tidak akan melakukan apa pun pembicaraan atau perundingan melalui media.

Kerusakan kapal

Untuk diketahui, kata Hikmahanto, para pencari suaka yang menggunakan kapal-kapal sewaan dari nelayan Indonesia dalam perjalanan ke Australia akan sengaja membuat kapal menjadi rusak.

"Saat rusak itulah kemudian dikirim signal SOS untuk meminta bantuan yang ditujukan kepada otoritas Australia. Para pencari suaka sengaja tidak mengontak otoritas Indonesia," katanya.

Ketika otoritas Australia datang dan mengevakuasi mereka, kata dia, pencari suaka sudah seharusnya mendapatkan haknya sebagai pencari suaka dan pengungsi berdasarkan Konvensi Pengungsi 1951.

"Hal ini karena meski posisi kapal Australia ada di perairan Indonesia namun karena para pencari suaka telah berada di kapal yang berbendera Australia maka berlaku hukum Australia bagi pencari suaka," katanya.

Australia adalah peserta Konvensi Pengungsi 1951 maka Konvensi tersebut wajib diberlakukan kepada para pencari suaka yang berada di kapal berbendera Australia.

Indonesia, menurut dia, tidak seharusnya menerima kembali pencari suaka yang dibantu oleh Australia karena mereka memang bermaksud untuk ke Australia mencari suaka, bukan ke Indonesia.

"Sehingga aneh bila otoritas Australia memaksa Indonesia agar menerima kembali para pencari suaka yang telah berada di kapal Australia," ujarnya.

Hikmahanto juga menyebut sikap Australia melabeli para pencari suaka itu sebagai imigran gelap karena tidak dikehendaki kehadirannya sebagai suatu situasi yang tidak menguntungkan Indonesia.

Media Australia menyebutkan jika utusan khusus PM Australia akan berada di Jakarta pekan ini untuk membahas hal itu.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement