Rabu 13 Nov 2013 11:16 WIB

Indonesia Sebaiknya Tolak Kompensasi Pengambilalihan Inalum

Red: Nidia Zuraya
Hasil produksi PT Inalum.
Foto: medantalk.com
Hasil produksi PT Inalum.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan aktivis pro demokrasi (Prodem) minta kepada pemerintah agar menolak divestasi Nippon Asahan Alumunium (NAA) sebesar 58,87 persen dan pembayaran kompensasinya sebesar 558 juta dolar AS (sekitar Rp 6,7 Triliun) kepada NAA. Alasannya, menurut ketua majelis Prodem Ruswandi, karena kontraknya selama 30 tahun sudah berakhir 31 Oktober 2013.

"Ibarat orang sewa tanah di Asahan, kemudian tanah itu dibangun infrastruktur dan berbagai usaha, maka setelah kontrak berakhir dan tidak diperpanjang lagi. Mengapa pemilik tanah harus membayar kompensasi kepada penyewa. Ini tidak benar. Pemerintah jangan mau diminta bayar kompensasi kepada NAA," papar Ruswandi di Jakarta, Rabu (13/11).

Jika penyewa tanah (NAA, red) telah membangun infrastruktur ekonomi seperti jalan, listrik dan lain sebagainya, namun menurut Ruswandi, NAA juga telah menikmati hasil keuntungan dari berbagai usaha dari sewa tanah tersebut. Pemilik tanah (Pemerintah RI, red) tidak perlu lagi membayarkan kompensasi atas investasi yang dilakukan penyewa tanah.

Walau kontrak sudah berakhir dan NAA sudah eksploitasi sumber daya alam di Asahan selama 30 tahun, namun pemerintah sepakat membayar dana kompensasi sebesar 558 juta dolar AS. Inilah yang ditentang Prodem. "Jadi itu hanya akal-akalan pemerintah jika bersedia membayar kompensasi kepada NAA atau Jepang. Jika kontrak NAA telah berakhir di Asahan, ya sudah, pemerintah Indonesia tidak harus membayar kompensasi hingga Rp 6,7 triliun. Jangan sampai dana kompensasi jadi dana kampanye politik menjelang Pemilu," ujar Ruswandi.