REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhbib Abdul Wahab
Ijtihad, mujahadah, dan jihad merupakan tiga pilar kunci kemajuan Islam. Ketiga kata ini memiliki akar yang sama, yaitu j-h-d, yang berarti mengerahkan segala daya upaya untuk mengatasi kesulitan dan permasalahan.
Ijtihad adalah kunci kemajuan pendidikan dan pemikiran intelektual; mujahadah merupakan kunci kemajuan mental dan spiritual; sedangkan jihad merupakan kunci kemajuan ekonomi, politik, budaya, dan sosial.
Kemajuan yang diwujudkan melalui ijtihad dan jihad harus ditopang oleh etos mujahadah. Karena mujahadah merupakan penggerak sekaligus pengendali dinamika ijtihad dan jihad.
Menurut ar-Raghib al-Asfahani, mujahadah adalah bekerja cerdas, ikhlas dan keras dalam menghadapi musuh yang tampak (kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, agresi militer, dan sebagainya) dan yang tidak tampak (setan dan hawa nafsu) dengan cara mengendalikan dan memenej diri agar senantiasi taat kepada syariat Allah SWT.
Mujahadah merupakan penyeimbang antara potensi nalar, potensi fisik, dan potensi hati manusia. Jika manusia hanya mengedepankan kecerdasan intelegensi dan kekuatan fisiknya semata, ia akan kehilangan suara hati nuraninya.
Mujahadah merupakan energi positif untuk membangkitkan nilai-nilai spiritualitas yang ada di dalam dirinya, seperti: ketulusan, kesabaran, kebersamaan, kelemah-lembutan, kasih sayang, memaafkan, dan sebagainya.
Pada saat yang sama, ia juga berusaha melebur watak negatifnya, seperti: buruk sangka, tamak, hasad, malas, dendam, dan sebagainya. Hakekat mujahadah adalah pendewasaan diri dalam bertutur kata, bersikap, dan berbuat.
Kunci pendewasaan diri adalah pengendalian fungsi hati agar tidak mudah dijajah hawa nafsu dan setan. Dengan kata lain, pendewasaan diri adalah pembebasan diri dari hawa nafsu yang pada umumnya menjerumuskan manusia kepada kejahatan, kecuali nafsu yang dirahmati Allah (QS. Yusuf/12: 53).
Dalam syair Arab dinyatakan, Nafsu itu seperti bayi. Jika diabaikan (tidak disapih), maka dia akan menyusu (kepada ibunya) terus-menerus. Tapi jika disapih, maka ia akan mandiri (tidak terus menyusu).
Mujahadah ibarat mendewasakan anak. Anak akan tumbuh kembang dan menjadi dewasa jika terlebih dahulu disapih, dibiasakan mandiri, dan dididik dengan sebaik-baiknya, termasuk dibiasakan melihat kekurangan diri sendiri, agar tidak sibuk mengurusi aib orang lain.
Dengan mujahadah, seorang Muslim tidak hanya menjaga dirinya agar tidak larut dalam perangkap hawa nafsu dan godaan setan, tetapi juga mampu memberi rasa aman dan kedamaian bagi orang lain.
"Tahukah kalian, siapa yang disebut Mukmin? Pertanyaan Nabi SAW ini dijawab sendiri: "Yang disebut Mukmin adalah orang yang membuat harta dan jiwa orang lain aman. Sedangkan Muslim adalah orang yang membuat orang lain selamat dari perkataan dan perbuatannya.
Orang yang bermujahadah adalah orang yang senantiasa berjuang dalam ketaatan kepada Allah. Sedangkan orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa." (HR al-Bukhari)
Menurut al-Qusyairi, kiat-kiat mujahadah yang dapat mengantarkan Muslim kepada jalan pendakian menuju kedekatan diri dengan Allah (taqarrub ila Allah) sedekat-dekatnya harus dilalui dengan tazkiyatun nafsi (penyucian diri) melalui taubat dan istighfar, iltija (memohon perlindungan) kepada Allah melalui shalat dan zikir, muhasabah (introspeksi diri) dengan menyadari kekurangan dan meningkatkan amal kebajikan, dan berpikir positif agar dapat memecahkan berbagai persoalan secara arif bijaksana.
Mujahadah merupakan salah satu manifestasi dari kecerdasan romantis, sebuah perjuangan menggapai rasa cinta dan intim dengan Tuhan melalui optimalisasi segala bentuk ketaatan, dan menjauhi segala macam kemaksiatan.
Dengan mujahadah, Muslim pasti berusaha menapaki jalan Tuhan yang mengantarkannya kepada kebahagiaan hakiki, surga. “Dan orang-orang yang berjihad, bermujahadah untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut/29: 69).