REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti senior lembaga kajian Founding Fathers House (FFH) Dian Permata berpendapat konvensi bakal calon Presiden Partai Demokrat berjalan di tempat. Kenapa? Lantaran hingga kini belum berhasil menampilkan sosok capres yang disukai rakyat.
Hal itu disampaikan Dian pada pemaparan hasil survei FFH di Jakarta, Kamis (14/11). Dari survei yang dilakukan FFH di 34 propinsi terhadap 1.070 responden, sebanyak 76 persen masyarakat tidak mengetahui konvensi Partai Demokrat.
"Hanya 24 persen dari responden yang mengetahui tentang konvensi Demokrat yang digulirkan sejak Mei 2013 itu," kata Dian.
Dari 24 persen keseluruhan responden yang mengetahui itu hanya 2,2 persen yang benar-benar mengetahui ada 11 peserta yang berkompetisi.
"Sebanyak 89 persen di antaranya menjawab tidak tahu dan sisanya ada yang menjawab 50 orang bahkan 100 orang mengikuti konvensi ini," menurutnya.
Menurut peneliti lulusan Universitas Sains Malaysia ini, hasil survei tersebut menjadi peringatan dini bagi Partai Demokrat, yang sebelumnya berniat mejadikan konvensi untuk melahirkan calon pemimpin dan meningkatkan popularitas partai.
Sayangnya, niat tersebut terganjal oleh berbagai kasus dugaan korupsi seperti kasus dugaan korupsi proyek Hambalang yang sedang mencuat, indikasi intervensi terhadap TVRI saat penayangan deklarasi konvensi dan penggunaan fasilitas pejabat negara oleh sebagian peserta konvensi.
Dian bahkan menilai, terkuaknya kasus penyuapan SKK Migas juga menurunkan kepercayaan publik, karena setelah kasus itu muncul isu-isu tak sedap ada aliran dana dari SKK Migas untuk pelaksanaan konvensi Demokrat.
"Kondisi konvensi ini tak ubahnya seperti mobil derek yang membawa mobil mogok yakni Demokrat. Bila kondisi seperti ini mobil derek itu bisa ketularan mogok pula," katanya.
Menurutnya, Demokrat harus segera menemukan formulasi yang tepat untuk meningkatkan gengsi konvensi untuk tidak kehilangan momentum atau "hilang panggung" saat Pemilu 2014.