REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Cina saat ini merupakan negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia. Negara ini bahkan memuncaki kepemimpinan di Asia dan menjadi satu-satunya negara yang memperoleh kursi Dewan Keamanan PBB.
Namun, kesigapan dan jumlah dana yang disumbangkan negara ini ke korban topan di Filipina tidak sebanding dengan kedigdayaan negeri Tirai Bambu itu dan memicu kritisi dari pengamat.
Sumbangan Cina sebesar 1,6 juta USD ke negara tetangga, yang berbatasan langsung di garis laut, Filipina, ini dinilai masih lebih sedikit dari sumbangan perusahaan furnitur Swedia, Ikea.
"Tindakan Cina itu menggambarkan blunder pada kebijakan luar negerinya," kata Phillip Swagel, mantan asisten sekretaris untuk kebijakan ekonomi di Departemen Keuangan Amerika Serikat dan salah satu penulis buku hubungan internasional Cina, Awkward Embrace: The United States and China in the 21st Century.
"Ini kesalahan yang tidak perlu bagi negara ini, menunjukkan kepada negara-negara lain keterbatasan jiwa bersahabat Cina."
Topan Haiyan menimpa Filipina 7 November lalu dan menyebabkan setidaknya 2.350 korban tewas. Topan ini juga menghancurkan 236.000 rumah dan mengakibatkan kehancuran begitu luas sehingga mayat-mayat menumpuk di sisi jalan selama berhari-hari. Korban mengalami putus asa untuk mendapatkan makanan dan tempat tinggal.
Janji bantuan China, dari sebelumnya hanya 100 ribu USD, tidak sebanding dengan bantuan Amerika Serikat sebesar 20 juta USD.
Australia yang jauh saja menjanjikan 30 juta USD, sementara Inggris menawarkan 16 juta USD. Selain itu, negara nun jauh di Padang Pasir Timur Tengah, Uni Emirat Arab, membantu 10 juta USD.
Lebih dari itu, Ikea mengirimkan bantuan sebesar 2,7 juta USD, menurut data lembaga PBB, UNICEF.
Sebuah editorial di Southern Daily, sebuah surat kabar Partai Komunis di Guangdong, bahkan menuduh Filipina kesal dengan tawaran bantuan pertama yang dinilai tidak menghargai harga diri bangsa Filipina.
"Filipina jelas tidak puas atau malah ingin menghargai 'cinta' China [yang sedikit] itu, [mereka] hanya mengharapkan 'cinta lebih' dari China," kata editorial itu.