Jumat 15 Nov 2013 21:43 WIB

Jumlah Hakim Tipikor Kupang Memadai

Red: Djibril Muhammad
Majelis Hakim Tipikor tengah mengadili seorang terdakwa kasus korupsi.
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Majelis Hakim Tipikor tengah mengadili seorang terdakwa kasus korupsi.

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Kepala Hubungan Masyarakat Pengadilan Tinggi Kupang Ramly Muda, jumlah hakim yang menangani sidang tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang saat ini sangat memadai dengan jumlah 12 orang dan membentuk empat majelis.

"Dari jumlah 12 orang hakim tersebut, terdiri dari hakim karier yang sudah diberikan pendidikan khusus dan ditambah tiga orang hakim adhoc," katanya di Kupang, Jumat (14/11).

Jumlah hakim tersebut, akunya, sanggup menangani semua perkara korupsi yang datang dari sejumlah daerah di wilayah provinsi kepulauan itu.

"Semua perkara korupsi yang ditangani hakim tipikor rata-rata berjalan lancar dan semua terdakwa diputus sesuai aturan yang ada," katanya.

Ramly mengakui, jumlah hakim yang menangi perkara korupsi di pengadilan tipikor sangat ideal, dibanding dengan jumlah hakim yang ada dan bertugas di sejumlah pengadilan negeri lainnya di wilayah tersebut.

Ia mengungkapkan, hingga kini jumlah hakim yang berada di 16 pengadilan negeri di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Kupang berjumlah 60 orang. Jumlah hakim ini harus melayani penanganan perkara yang datang dari 22 kabupaten/ kota yang ada.

Bahkan ia mengatakan, ada PN yang hanya memiliki empat orang hakim dan belum memiliki ketua pengadilannya, karena belum ada penetapan dari Mahkamah Agung RI.

Ramly menyebutkan, lima PN yang belum memiliki ketua pengadilan, masing-masing Pengadilan Negeri Rote Ndao, Lembata, Kalabahi, Waikabubak dan PN Labuan Bajo.

"Kendatipun begitu semua perkara yang ada tetap berjalan dan diputus sesuai aturan yang ada," katanya.

Terhadap ada kemungkinan para hakim khususnya di pengadilan Tipikor melakukan 'jual beli' perkara, Ramly yang juga menjabat sebagai Panitera Muda Hukum Pengadilan Tinggi Kupang itu mengatakan, tidak pernah terjadi, karena semua hakim terus dalam pengawasan ketat.

Selain selalu melakukan pengawasan terhadap para hakim, Ramly mengaku, 'jual beli' perkara sangat sulit terjadi, karena masing-masing hakim sudah sangat mengerti dan paham tentang tugas dan fungsinya. "Para hakim juga takut tertangkap lakukan 'jual beli' perkara. Sanksinya sangat tegas dan keras," katanya.

Selanjutnya dia menambahkan, warga masyarakat atau oknum subyek hukum yang tersangkut korupsi, rata-rata tidak memiliki cukup anggaran untuk melakukan upaya penyogokan. Hal itu kata dia, karena akan sangat tinggi biayanya.

Jika sesorang tersangkut korupsi diancam dengan hukuman mengembalikan keuangan negara ratusan juta, apakah masih sanggup membayar para hakim di atas nilai tersebut. Hal inilah yang telah menutup kemungkinan terjadinya 'jual beli' perkara.

Ia juga meminta warga masyarakat untuk bisa sama-sama mengawal dan mengawasi tindakan hukum hakim saat melakukan tugas dan fungsinya, agar tetap berjalan sesuai aturan yang ada.

"Kita siap proses dan tindak hakim yang lakukan penyimpangan. Kita harap masyarakat untuk ikut mengawasinya," kata Ramly.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement