REPUBLIKA.CO.ID, ERZINCAN -- Dunia Muslim terkenal dengan slogan ilahiah, yang mempunyai dimensi kesakralan dan keabadian, untuk menunjukkan solidaritas sosial bernama 'Ukhuwah Islamiah'.
Namun, dalam prakteknya, perbedaan metodologi cara pandang memahami ajaran Islam terpecah menjadi paling tidak beberapa mazhab, sehingga ukhuwah itu kadang kala tinggal menjadi slogan saja.
Perbedaan itu terlihat dari klasifikasi pemikiran fikih, mulai dari mainstream Maliki, Hanafi, Syafii, Hanbali, Ja'fari dan lain sebagainya. Ada juga beberapa mazhab kecil lainnya,di antaranya sudah punah seperti Mazhab Zahiri, yang diasaskan kepada ulama Eropa, Ibn Hazm al-Zahiri yang lahir di Cordova, Spanyol, pada Rabu 7 November 994 M.
Ada lagi Mazhab Alawzai, Althawri, Mazhab Allaith, Mazhab Tabari dan lain sebagainya. Belum lagi mazhab tauhid seperti Almaturidi dan Alash'ariah. Semuanya dalam tahap tertentu membingungkan kalangan yang mempunyai kedangkalan dalam pemahaman filosofi beragama sehingga, kalau tidak hati-hati, terjebak menjadi apatisme bermazhab alias Alla mazhabiyah.
Untuk menciptakan kerukunan antar mazhab di negaranya, pemerintah Turki selalu merangkul semua pihak dan mengingatkan para pemeluk agama dan pengikut mazhab, bagaimana kedamaian antar umat manusia di negara itu pernah terwujud sebelum munculnya inovasi mazhab dan pemikiran.
"Negara ini milik kita bersama. Para leluhur kita, sama seperti pendahulu mereka, telah tinggal bersama di sini. Oleh karena itu, semua keberhasilan hanya dapat dicapai jika kita selalu memperlakukan orang lain dengan penghormatan, cinta dan berdialog," kata Presiden Abdullah Gül saat mengunjungi sebuah cemevi, istilah untuk gedung majelis taklim kalangan Syiah Alawiyah di Erzincan Jumat (15/11).
Ajakan ini bertepatan dengan momen penghormatan umat Islam terhadap kesucian bulan Muharam yang dihormati karena pada bulan ini banyak mengandung poin sejarah seperti kesahidan Imam Husein RA serta mengenang saat-saat penyelamatan bangsa Yahudi, yang dipimpin Nabi Musa AS saat dulu, oleh Allah SWT dari perbudakan pemerintahan Fir'aun di Mesir.
Dilaporkan Hurriyet Daily News, kunjungan Gül itu juga bertepatan dengan keresahan komunitas Alawiyah kepada pemerintah yang belum mengakui cemevi sebagai tempat suci resmi Syiah selain masjid dan lain-lain. Hal itu berkaitan khususnya dengan paket demokratisasi di negara itu, yang di antaranya berhasil mengakhiri diskriminasi negara terhadap kalangan wanita yang berjilbab.
Gül, yang juga politisi Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), saat itu sangat berbahagia dengan peningkatan kesadaran dan pemahaman politisi negara itu ke nilai luhur sekularisme yang sebenarnya sesuai pemahaman Mazhab Anglo-Saxon dan tidak lagi mengadopsi kedangkalan Mazhab Sekuler Restriktif. Ketegangan pun mereda antara kelompok nasionalis dengan sekuler yang anti-jilbab.
Dalam memahami kasus Alawiyah ini, petinggi AKP masih mencermati beberapa pertimbangan. Menteri Perburuhan Faruk Çelik lebih menyetujui adanya pengakuan kepada lembaga-lembaga cemevi, dan meminta hal itu jangan dibenturkan dengan masalah 'ketidaksetujuan teologis dan hukum'.
Gül yang disambut oleh pimpinan organisasi masyarakat Hacı Bektaş Veli Foundation, mengatakan, sebuah langkah kesadaran terus mendapatkan momentumnya di Turki dan beberapa kemajuan sudah dicapai, walaupun harus bergerak selangkah demi selangkah.
"Bukan saja kepada warga Alawiyah kita, juga terhadap masalah yang menimpa warga Sunni, yang ada di Barat (Turki) dan di Timur negara semuanya mempunyai problematika dan permintaan masing-masing. Apa yang penting bagi kita adalah kesediaan untuk meminjamkan telinga untuk mendengar semua [tuntutan] ini dan berusaha untuk menyelesaikannya," katanya.