REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar telematika Ruby Alamsyah menyebut hampir 90 persen praktik judi online di Indonesia merupakan reseller bandar judi luar negeri. Ia mengatakan, baru sedikit bandar judi online yang ada di Indonesia.
"Jadi di Indonesia itu bagian dari bandar judi luar. Reseller. Semacam perpanjangan tangan," kata Ruby, saat dihubungi ROL, Ahad (17/11). Karena itu, ia mengatakan, kebanyakan pelaku judi online di Indonesia mengacu pada sistem bandar yang berada di luar negeri.
Dengan reseller, Ruby mengatakan, bandar yang ada di luar negeri sudah menyiapkan sistemnya. Sehingga, pelaku judi online di Indonesia hanya tinggal menjalankan. Ia mengatakan, pelaku di luar juga biasanya yang menjamin masalah proteksi domain servernya. "Semua sudah disiapkan. Tinggal mencari member dan membuka rekening," kata dia.
Ruby mengatakan, sedikit pelaku judi online yang berani menempatkan servernya di Indonesia. Karena praktek judi online itu ilegal di negara ini. Untuk mensiasatinya, server ada di luar negeri. Mengingat ada negara yang melegalkan praktik perjudian. "Yang di luar itu mencari reseller," kata dia.
Menurut Ruby, ada beberapa modus yang dilakukan pelaku judi online untuk menghindari penelusuran aparat penegak hukum. Dalam penyebaran informasi perjudian itu dilakukan secara tertutup (close networking). Hanya orang-orang tertentu yang bisa mengetahuinya. Informasi bisa menyebar dari orang-orang yang sudah lama mengikuti perjudian itu. "Apalagi yang tingkat taruhannya tinggi," kata dia.
Selain itu, Ruby mengatakan, bandar judi online pun biasanya mengganti rekening tempat penampungan uang taruhan dalam periode tertentu. Bandar juga, menurut dia, menggunakan rekening yang berbeda untuk menyalurkan uang kepada pemenang. Cara seperti itu, menurut dia, menjadi modus untuk mempersulit pelacakan aparat penegak hukum. "Jadi hanya sedikit meninggalkan jejak," ujar dia.
Ruby mengatakan, mudahnya pembuatan rekening palsu atau dengan menggunakan identitas orang lain turut mendukung praktik judi online. Selain itu, ia mengatakan, ada juga praktik menjual rekening. Dengan ini, ia mengatakan, para pelaku kejahatan bisa memanfaatkannya. Bukan hanya untuk praktik perjudian. "Karena itu biasanya pelaku yang tertangkap ini juga dikenakan pasal tindak pencucian uang," kata dia.
Melihat berbagai modus judi online itu, Ruby mengatakan, aparat penegak hukum harus lebih tanggap dan bergerak cepat melakukan pemberantasan. Karena, ia mengatakan, dalam hitungan menit, pelaku bisa dengan mudah mengubah alamat website untuk menyiasati pemblokiran. Namun, ia mengatakan, selama ini yang tertangkap biasanya hanya bandar-bandar kecil. "Kalau bandar besar itu lebih sulit disentuh," kata dia.
Pada era digital ini, Ruby mengatakan, aparat penegak hukum harus bisa segera menyesuaikan diri untuk bisa menangani kejahatan di dunia maya. Ia menilai, selama ini sumber daya manusia masih menjadi kendala. Sehingga, ia mengatakan, pemberantasan kejahatan di dunia maya belum sebesar tindak pidana lain. "Bukan tidak terperhatikan. Tapi mungkin persentase penegak hukumnya masih lebih kecil dibandingkan untuk kejahatan non-cyber," ujar dia.
Ruby juga berharap adanya peran lebih besar dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Menurut dia, selama ini pergerakan Kemenkominfo masih lebih banyak di tataran edukasi. Ia menilai, tindakan pemblokiran terhadap situs-situs judi atau situs terlarang lainnya masih kurang. "Belum terlalu optimal," kata dia.