REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program keuangan inklusif yang tengah dijalankan oleh pemerintah, Bank Indonesia (BI) dan seluruh pemangku kepentingan, harus disertai oleh peningkatan literasi keuangan.Hal tersebut bertujuan agar program keuangan inklusif dapat terakselerasi dengan baik, lebih tepat dan berdaya tahan dapat tercapai.
Demikian dikatakan Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlidungan Konsumen Kusumaningtuti Sandriharmy Soetiono dalam konferensi pers di Gedung OJK, Senin (18/11). "Kita sudah memiliki program keuangan inklusif. Seperti negara lain, ini perlu disertai literasi keuangan. Sebab, salah satu faktor yang mendorong keuangan inklusif adalah meningkatkan literasi keuangan. India, Australia dan beberapa negara telah memiliki strategi literasi keuangan," papar Kusumaningtuti.
Dia menyebut tingkat literasi keuangan yang ditunjukkan dengan akses keuangan di Indonesia menurut Bank Dunia masih sangat rendah yakni sekitar 20 persen. Sementara negara tetangga seperti Filipina telah mencapai 27 persen, Malaysia 66 persen, Thailand 73 persen dan Singapura 98 persen.
Dalam rangka meningkatkan literasi keuangan di Tanah Air, OJK bersama Asosiasi Lembaga Jasa Kuenagan dari seluruh industri keuangan (perbankan, asuransi, pasar modal, pembiayaan, pegadaian dan dana pensiun) akan meluncurkan Cetak Biru Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia di JCC, Jakarta, Selasa (19/11). Program ini akan diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Kusumaningtuti menjelaskan, Cetak Biru Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia adalah program yang bertujuan untuk mengangkat masyarakat yang tadinya not literated (tidak melek) atau less literated (kurang melek) terhadap keuangan dan produk-produknya yang didasari oleh tiga pilar.
Pilar pertama yaitu mengedepankan program edukasi dan kampanye nasional literasi keuangan. Sasaran dari program ini adalah sekolah, mahasiswa, ibu rumah tangga hingga pengusaha ekonomi lemah. "Dalam cetak biru akan diprioritaskan pada 2014-2015 edukasi ke kelompok itu," ujar Kusumaningtuti.
Selanjutnya pada 2016-2017 target-target lainnya yakni pekerja formal, informal dan kelompok masyarakat lain. "Ini tak hanya edukasi saja, tapi juga bahan materi kegiatan-kegiatan yang terkait. Ini semua butuh kolaborasi berbagai pihak, karena tanpa koordinasi itu tidak akan lancar. Kita sudah mulai dengan MoU dengan kementerian-kementerian seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta MoU dengan kampus-kampus seperti UGM, UI dan UMM," papar Kusumaningtuti.
Pilar kedua yakni penguatan infrastruktur literasi keuangan. Kusumaningtuti menyebut dalam pilar kedua akan ditopang oleh keberadaan mini website yang akan memaparkan semua produk layanan lembaga keuangan, mobil literasi keuangan untuk menjangkau masyarakat terpencil, peraturan pendukung seperti peraturan OJK tentang perlindungan konsumen yang diluncurkan 26 Juli silam dan Financial Customer Care.
Pilar ketiga, ujar Kusumaningtuti, adalah pengembangan produk dan layanan jasa keuangan yang terjangkau. Dengan upaya secara simultan dan terkoordinasi, Kusumaningtuti atas nama OJK mengharapkan terwujudnya masyarakat yang well literated (sudah melek) terhadap keuangan maupun produk-produknya. Masyarakat juga diharapkan memiliki keyakinan dan keterampilan dalam menggunakan produk-produk lembaga keuangan.
"Jika sudah tercapai level kecerdasan dalam pengelolaan keuangan, akan tercapai masyarakat sejahtera yang dapat berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan kestabilan keuangan," kata Kusumaningtuti.