Selasa 19 Nov 2013 09:42 WIB

Soal Penyadapan Australia, Yusril Geram Didikte Negara Lain

Yusril Ihza Mahendra
Foto: Antara
Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terbongkarnya dugaan penyadapan Australia ke Indonesia belakangan ini membuat geram sosok Yusril Ihza Mahendra, mantan Menteri Hukum dan HAM. Menurutnya Indonesia tidak seharusnya didikte oleh negara lain melalui cara penyedapan.

"Saya tidak ingin mereka mendikte kita untuk kepentingan mereka, baik soal keimigrasian maupun soal imigran gelap," tulis politisi Partai Bulan Bintang ini di akun Twitter-nya @Yusrilihza_Mhd.

Menurutnya apa yang dilakukan pemerintah sekarang ini menanggapi isu itu belum cukup. Dia melihat bahwa "Australia nyata-nyata telah menggunakan fasilitas Kedutaan Besarnya untuk melakukan penyadapan."

Kata dia, dari pada memanggil Dubes Indonesia untuk konsultasi, lebih baik Indonesia memanggil Duta Besar Australia untuk dibriefing mengenai sikap RI yang mengutuk penyalahgunaan fasilitas diplomatik untuk kegiatan spionase.

"Sikap Pemerintah RI sekarang beda jauh dengan sikap Presiden Suharto yang tegas terhadap Uni Sovyet akhir tahun 1970-an," katanya.

Dia menjelaskan, suatu saat sejumlah diplomat Uni Soviet melakukan kegiatan mata-mata, termasuk mereka yang menjadi staf penerbangan Aeroflot. Pemerintah Suharto, jelasnya, langsung mengusir diplomat Uni Soviet tersebut dan minta negaranya mengurangi jumlah diplomatnya di Jakarta.

"Penerbangan Aeroflot dari Moskow ke Jakarta juga ditutup oleh Pemerintah Suharto," kenangnya.

Dia berharap, Pemerintah RI saat ini bertindak tegas terhadap "negara asing yang menginjak-injak kehormatan kita sebagai sebuah bangsa."

"Saya sendiri dari dulu bersikap keras terhadap Australia yang suka bersikap seenaknya terhadap bangsa kita," lanjutnya.

Namun dia mengakui, sikap itu membuatnya sebagai sosok yang tidak disukai. "Makanya orang seperti saya tak disukai oleh negara-negara sejenis itu karena sikap saya yang keras terhadap mereka," katanya.

Yusril bertekad, dirinya akan melindungi martabat negara bisa mempunyai wewenang untuk itu. "Kalau saya yang jadi Presiden, sudah saya usir Dubes Australia yang salah gunakan fasilitas diplomatik dan meremehkan bangsa dan negara ini," pungkasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement