REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyampaikan sikap terhadap aksi penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pejabat-pejabat tinggi lainnya.
"Bila benar telah terjadi pelanggaran hak privasi Kepala Negara dan pejabat tinggi lainnya, DPD sangat menyesalkan insiden tersebut. Bukankah kita mengenal pepatah bahwa tetangga yang dekat itu lebih baik dari saudara yang jauh," ujar Ketua DPD Irman Gusman.
Irman menyampaikannya saat memimpin Sidang Paripurna DPD ke VII di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (19/11). Salah satu agenda sidang adalah mendengarkan penjelasan pemerintah tentang jawaban atas hak bertanya Anggota DPD RI mengenai kebijakan moda transportasi kendaraan bermotor roda empat yang hemat energi dan harga terjangkau. Hak bertanya itu diinisiasi oleh Anggota DPD asal DKI Jakarta yaitu AM Fatwa.
Irman menjelaskan, insiden penyadapan yang dilakukan oleh Australia telah melukai jati diri Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat. "Karena itu, DPD RI meminta dilakukan langkah-langkah diplomasi yang lebih efektif dan tegas," ujar Irman. Tujuannya untuk mencegah insiden serupa tidak terjadi lagi di masa-masa mendatang.
Seperti diketahui, informasi penyadapan Australia dilansir oleh sejumlah media internasional seperti The Guardian, Senin (18/11). Dalam dokumen yang dibocorkan oleh bekas kontraktor NSA, Edward Snowden, disebutkan Presiden SBY dan sembilan orang yang masuk ke dalam lingkaran dalam menjaga target penyadapan.
Aktivitas yang disadap adalah aktivitas telepon genggam Presiden selama 15 hari, Agustus 2009. Kala itu, Australia masih dipimpin oleh Perdana Menteri Kevin Rudd. Saat ini, Australia dipimpin oleh PM Tony Abbott.