REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Makmun Nawawi
Ahmad bin Abi al-Hawari bertutur, saya masuk menemui Abu Sulaiman ad-Darani dan kujumpai ia tengah menangis. Lalu aku pun bertanya, "Apa yang menyebabkanmu menangis, Tuanku?"
Ia pun menjawab, Ya Ahmad, sesungguhnya Ahlul Mahabbah (Sang Pencinta Ilahi) itu, jika malam telah larut, ia membentangkan kakinya, sementara air matanya meleleh di atas pipinya bersamaan dengan rukuk dan sujud. Ketika mereka berada dalam keadaan demikian, Allah Jalla Jalaluh pun memuliakan mereka, seraya berseru.
"Hai Jibril, demi Dzat-Ku, barang siapa yang merasa lezat dengan berbicara/berdoa kepada-Ku, dan merasa nyaman dengan munajat kepada-Ku, Aku sungguh menyaksikan mereka, menyimak ucapan mereka, melihat penderitaan dan tangis mereka. Maka, serulah mereka, dan katakan kepada mereka, hai Jibril, 'Apa arti dari keluh kesah yang kulihat dari kalian ini? Apakah ada yang mengabarkan bahwa seorang kekasih akan menyiksa kekasihnya di neraka?’"
"Jika perbuatan seperti itu tidak pantas dilakukan oleh seorang hamba yang hina dina, maka bagaimana mungkin hal itu dilakukan oleh Allah Yang Maha Berkuasa lagi Mahamulia? Maka, demi keagungan-Ku, Aku bersumpah, ketika mereka menemuiku pada Hari Kiamat, Aku sungguh akan memberikan hadiah kepada mereka di mana Aku akan menyingkapkan Wajah-Ku yang mulia kepada mereka, lantas Aku melihat mereka, dan mereka pun melihat Aku."
"Wahai Ahmad," ujar Abu Sulaiman kemudian, "Apakah engkau masih juga mencerca aku, ketika aku meratapi ketertinggalanku dari kaum Ahlul Mahabbah itu?!" Apa yang dilakukan oleh Abu Sulaiman ad-Darani, tokoh tasawuf Suni abad ketiga Hijriyah ini, sesungguhnya menampar banyak orang yang hanyut dalam derasnya gelombang materialistis.
Di mana mereka hanya gundah gulana ketika hal-hal duniawinya lebih rendah dibandingkan orang lainnya. "Duh, saldo saya belum ada apa-apanya dibanding rekening dia yang gendut. Rumah saya, hanya mirip kandang hewan jika disejajarkan dengan istananya. Gaji saya, hanya setara dengan belanja pulsa dia. Soal kendaraan, saya tak punya mobil, sementara dia, garasinya mirip show room." Dan, kegalauan-kegalauan semisalnya.
Padahal Nabi berpesan, "Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, karena yang demikian itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian." (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Sementara menyangkut akhirat, kita nyaman-nyaman saja ketika belum bisa membaca Alquran, misalnya, sementara orang lain, bahkan anak kecil sudah hafal 30 juz. Kita juga sudah cukup puas, jika bisa shalat lima waktu, meski sering terlambat. Sedangkan orang lain, bukan hanya menjalankan shalat lima waktu dengan berjamaah dan tepat waktu, melainkan juga sangat tekun menambahkannya dengan shalat-shalat nawafil (sunah).
Kita pun sudah lega jika bisa berinteraksi dengan masyarakat selama satu jam dalam sepekan melalui taklim mingguan, misalnya. Sementara orang lain, justru mencurahkan hampir seluruh waktunya, tenaganya, pikirannya, bahkan materinya demi agama atau masyarakatnya.
Wallahu a’lam.