REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Pakar Hukum Pidana Universitas Riau (UNRI), Erdianto Effendi SH, MHum, mengatakan, penyadapan telepon oleh negara asing, seperti diduga dilakukan Australia terhadap negara lain, termasuk Indonesia, dapat digolongkan sebagai gangguan keamanan nasional.
"Bahkan berdasarkan literatur dari Walter Lippman, suatu negara dianggap aman jika keadaan bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang dianggapnya penting seperti penyadapan pembicaraan lewat telepon itu," kata dia di Pekanbaru, Selasa (19/11).
Ia mengatakan itu terkait kabar tentang penyadapan Australia terhadap Indonesia yang pertama kali dimuat dalam harian Sydney Morning Herald pada 31 Oktober 2013. Harian itu memberitakan keberadaan dan penggunaan fasilitas penyadapan di Kedutaan Australia di Jakarta dan negara-negara lain.
Stasiun pemantauan yang berada di Kepulauan Cocos itu tidak pernah diakui secara terbuka oleh pemerintah Australia atau dilaporkan di media, meski beroperasi selama lebih dari dua dekade.
Terakhir, dari yang dilansir media Australia, penyadapan dilakukan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 15 hari pada Agustus 2009. Penyadapan juga dilakukan terhadap Ibu Negara Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, dan sejumlah menteri.
Menurut Erdianto yang kini sedang menyelesaikan studi S3 di UNPAD itu, pembicaraan melalui telepon adalah percakapan yang sangat penting menyangkut penyelenggaraan negara yang tidak boleh disadap.
"Penyadapan atas warga negara oleh warga negara lain atau bahkan oleh negara, termasuk pelanggaran HAM kecuali dalam rangka penegakan hukum," katanya.
Jika penyadapan dilakukan oleh satu negara terhadap negara lain, katanya lagi, maka hal tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk 'pelanggaran yang serius atas kedaulatan negara'.
Pelanggaran tersebut, katanya, jelas menjadi gangguan atas keamanan nasional suatu negara.
"Untuk itu, dalam hubungan diplomatik antara negara yang seimbang seharusnya negara yang merasa disadap dapat melakukan tindakan yang tegas," katanya.
Tindakan tegas bisa dilakukan antara lain berupa pemutusan hubungan diplomatik terhadap negara terkait, tambahnya.