REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan kebijakan pemerintah melakukan penarikan terhadap Duta Besar Republik Indonesia untuk Australia merupakan tindakan protes yang masih ringan terhadap kasus penyadapan.
"Pemanggilan dubes dari Australia itu masih ringan. Itu baru langkah awal," katanya di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (20/11). Menurut Kalla, pemerintah Indonesia harus berani melakukan protes keras terkait tindakan penyadapan yang dilakukan oleh pihak Australia.
Protes keras, katanya, harus dilakukan pemerintah Indonesia, sebab pemerintah Australia bahkan tidak bersedia meminta maaf terkait dengan perbuatannya itu. Padahal, katanya, pernyataan maaf dari pemerintah Australia merupakan hal penting untuk menjaga hubungan bilateral kedua negara tersebut. "Sebenarnya jalan keluar akhirnya adalah Australia mau minta maaf atas perbuatannya itu. Australia seharusnya berani minta maaf."
Dia juga pernah menjadi objek penyadapan semasa menjabat Wakil Presiden periode 2004-2009. Pihaknya mengaku heran terhadap aksi penyadapan tersebut. Ia menilai penyadapan itu tidak memiliki alasan yang kuat. "Ya, penyadapan terhadap ponsel saya itu sewaktu saya masih menjabat wakil presiden. Saya sendiri tidak tahu apa sebenarnya yang ingin diketahui Australia. Terkait keamanankah atau yang lainnya," katanya.
Harian Sydney Morning Herald (SMH) dari Australia dan The Guardian dari Inggris, terbitan Senin (18/11), mengungkap bahwa penyadapan tidak hanya telepon seluler Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penyadapan yang dimulai sejak 2007 itu juga ditujukan pada pejabat dan orang dekat SBY, seperti Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, mantan Wapres Jusuf Kalla, Juru Bicara Presiden Dino Patti Djalal, dan Andi Mallarangeng.
Australia juga menyadap Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menko Polhukam Widodo AS, dan Menteri BUMN Syofyan Djalil.