REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nashrullah
Fahmi Huwaidi, kolumnis terkemuka asal Mesir, pernah menulis sebuah buku yang berjudul Al-Islam fi as-Shin. Buku yang terbit pada era 80-an menceritakan kisah petualangannya ke Negeri Tirai Bambu itu.
Karya tersebut mencoba untuk memotret dinamika sekaligus menelusuri jejak Islam di negara komunis tersebut.
Untuk misinya yang kedua, cukup sulit akibat minimnya data dan dokumentasi. Sebagiannya hilang, tak sedikit sengaja diberangus rezim yang berkuasa.
Perspektif yang disajikan tokoh senior koran al-Ahram Mesir itu cukup menggigit melalui kacamata sebagai jurnalis sekaligus seorang akademisi yang pernah mengenyam bangku kuliah di Universitas Kairo, kampus yang cukup bergengsi.
Mengapa mesti membuka tulisan dengan karya seorang Fahmi Huwaidi? Diakui atau tidak, berbicara soal Islam di Cina atau bahkan Cina secara umum, tak bisa terlepas dari guratan Muslim Arab.
Bahkan, sebuah data menyebut, Bangsa Eropa banyak mengenal Cina dari catatan-catatan petualang Muslim Arab yang telah dialihbahasakan. Kondisi ini sangat wajar. Mengingat, Arab dan Persia ketika itu merupakan penghubung antara Cina dan dunia luar.
Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Al-Lawati Ath-Thanji merupakan pemuda asal Maroko yang berhasil berpetualang di hampir separuh dunia. Sosok yang akrab dikenal dengan Ibnu Bathuthah itu memulai lawatannya ke penjuru dunia pada usia 22 tahun, 725 H/1325 M.
Kisah tentang perjalanannya itu, beberapa penggalannya tertuang apik di catatan pribadi yang berjudul Tuhfah an-Nazhar fi Gharaib al-Amshar wa 'Ajaib al-Asfar atau cukup disebut dengan Ar-Rihlah.
Dalam kitabnya yang terdiri atas dua jilid ini, sosok yang berpetualang tak kurang dari 27 tahun ini berkisah perihal kunjungannya ke Cina.
Ia menulis, “Cina adalah negara terbesar yang memiliki kemampuan produktivitas dan kreativitas. Mereka sangat teliti dan jeli. Demikian pula dengan seni melukis. Yang membuat saya takjub, tak pernah sekalipun aku kunjungi negara, lalu aku kembali lagi ke wilayah tersebut sementara gambar wajahku dan para sahabatku telah terukir di tembok atau kain.”
Komparasikan dengan naskah Will Durrant dalam Story of Civilization yang menulis bahwa filsafat Konghucu/Konfusius mengajarkan tentang seni berpikir sekalipun tak sedikit murid yang tidak diajari metode berolah logika tersebut.
Kemampuan itu membuat bangsa Cina mengerti betul bagaimana mawas diri, sekalipun dengan ilmu yang minim.
Proses dan pola kehadiran Islam di Cina pada dasarnya mempunyai banyak kesamaan dengan kedatangan agama Samawi tersebut di nusantara. Proses penyebarannya melalui jalan damai dan akulturasi budaya.
Beberapa tradisi masyarakat lokal diakomodasi dalam tradisi Islam Cina, seperti bertakziah dan mengenang orang meninggal, tiga hari setelah kematian, tujuh hari, dan seterusnya.
Keterbukaan penduduk lokal terhadap Islam pun bukan hal gampang. Dalam tradisi Cina klasik, mereka mengenal slogan tidak ada agama asing.
Ini tak hanya berlaku atas Islam, tetapi juga ideologi ataupun keyakinan lainnya. Tapi, di bawah hegemoni komunis, tekanan-tekanan terhadap komunitas Muslim pun lebih terstruktur.
Pemerintah Cina pernah melarang warga Muslim belajar agama di luar sejak 1937-1980. Sekalipun dijumpai beberapa mahasiswa asal Cina yang belajar di Timur Tengah, mayoritas mereka mengambil spesialisasi bahasa, yaitu jurusan bahasa Arab. Ini pun, lantaran tugas mereka kelak untuk menempati posisi sebagai penerjemah di birokrasi.
Belum lagi, sulitnya Muslim Cina untuk mendapatkan identitas nama Islam mereka. Upaya Cinaisasi terhadap nama-nama Muslim pun bukan rahasia lagi. Seperti, penggunaan kata Ma menggantikan Muhammad dalam bahasa Cina.
Sikap represif Pemerintah Cina terhadap apa pun yang berbau agama dalam kehidupan internal berbangsa dan bernegara, sebut Fahmi Huwaidi, bukan tidak mungkin akan menggerus perlahan keberadaan Islam di Cina.
Terisolasinya Muslim Cina dari dunia luar, setidaknya berpengaruh pada tingkat pemahaman masyarakat Muslim Cina akan Islam itu sendiri.
Mengusung misi dakwah secara institusional cukup sulit. Tak ada pilihan selain mendorong spirit berubah dari internal umat Islam Cina sendiri.