REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erdy Nasrul
Suatu hari, perawi hadits, Abdullah bin Mubarak, menunaikan ibadah haji. Ketika berziarah ke makam Rasulullah SAW, Dia bertemu dengan wanita tua. Setiap kali Abdullah bertanya selalu dijawab wanita itu dengan ayat-ayat Alquran.
Abdullah, Assalamualaikum. Wanita tua, Salamun qaulan min rabbi rohim (salam sebagai ucapan dari Tuhan Maha Kasih. QS Yasin 58). Abdullah, ''Semoga Allah merahmati Anda. Mengapa Anda berada di sini?''
Wanita tua menjawab, ''Wa man yudhlilillahu fa la hadiyalahu (Barang siapa disesatkan Allah maka tiada petunjuk baginya. Al - Araf: 186).
Singkat cerita, Abdullah memaparkan wanita itu adalah orang tua tiga orang anak. Selama empat puluh tahun, wanita itu selalu berbicara dengan mengutip ayat Alquran, karena khawatir salah bicara.
Betapa mulianya wanita tua itu. Dia seakan tidak memberi kesempatan akan adanya catatan dosa yang dibuat malaikat. Catatan tentang dirinya hanya penuh dengan kalam ilahi yang tidak mengandung keraguan.
Wanita itu tidak ingin lisannya terlepas dari firman Allah, tidak juga bermanis kata, apalagi berbohong, mengumbar janji yang tidak ditepati, dan berkhianat. Wanita tua itu sadar, Allah selalu mengawasinya. Dia mengetahui Allah lebih dekat dari urat nadinya (QS Qaf: 16).
Berkata sia-sia hanya akan membuang waktu. Bahkan jika diiringi dengan umpatan penuh kedengkian, hanya akan menghabisi pahala yang sudah diraih.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, "Setiap ucapan bani Adam membahayakan dirinya, kecuali kata-kata berupa amar ma'ruf dan nahi munkar, serta berdzikir kepada Allah azza wa jalla.'' (HR Turmuzi).
Suatu ketika, Rasulullah SAW juga pernah mengisyaratkan seseorang akan dengan mudahnya masuk neraka karena lisannya. Hal itu diisyaratkan Rasulullah SAW dengan memegang lidahnya sampai tiga kali.
Belum lagi kebohongan jika sempat terlintas dalam kata-kata. Hal itu akan menjadi bumerang yang membinasakan diri sendiri.
Benar apa yang dikatakan Rasulullah SAW, seringkali lisan membuat seseorang dicampakkan ke dalam api neraka. Hal itu tidak berbeda dengan pepatah yang sering terdengar, Mulutmu harimaumu.
Umat Islam harus mampu menjauhkan diri dari berkata bohong. Rasulullah SAW pernah ditanya, apakah mungkin seorang mukmin berkata bohong. Rasul menjawab,"Tidak."
Hadis ini bermakna seseorang tidak bisa mengaku beriman jika berbohong. Bahkan bisa terlepas keimanannya hanya karena berbohong.
Siapapun dia, seorang yang sudah menunaikan ibadah haji, yang shalatnya tidak pernah lepas, atau bahkan orang- orang yang dekat.
Dia tergolong orang munafik, karena salah satu tandanya, jika berkata maka dia berdusta (HR Bukhari-Muslim). Cara melepas dari status kemunafikan hanya meninggalkan sifat itu.
Jika tidak ingin dikatakan munafik, janganlah berbohong. Berbohong adalah mengkomunikasikan pesan untuk menyesatkan orang lain. Perbuatan ini bisa memberikan timbal balik bagi yang melakukannya. Sekali berbohong, akan selamanya melakukan itu.
Dalam Ihya Ulumuddin, Hujjatul Islam, Imam al Ghazali, memaparkan sejumlah hal yang harus dihindari. Semua itu untuk menjaga lisan. Kejahatan lidah yang pertama adalah berbicara untuk hal-hal yang tidak perlu.
Nabi saw bersabda, ”Seseorang tidak dianggap mukmin sebelum dia menghindari segala sesuatu yang tidak perlu baginya.”
Ciri seorang Muslim yang baik ialah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat darinya. Termasuk berbicara yang tidak membawa manfaat.
Anas, seorang sahabat Nabi, bercerita; Suatu hari pada Perang Uhud, dia melihat seorang pemuda yang mengikatkan batu ke perutnya lantaran kelaparan.
Ibunya lalu mengusap debu dari wajahnya sambil berkata, ”Semoga surga menyambutmu, wahai anakku.” Ketika melihat pemuda yang terdiam itu, Nabi berkata, ”Tidakkah engkau ketahui mengapa ia terdiam saja? Mungkin ia tidak ingin berbicara yang tidak perlu atau ia menolak dari hal-hal yang membahayakan dirinya.”
Dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda, ”Kalau engkau temukan seseorang yang sangat berwibawa dan banyak diamnya, ketahuilah mungkin ia sudah memperoleh hikmah."
Kejahatan kedua adalah pembicaraan yang berlebihan. Kelebihan pembicaraan dapat terjadi bila ingin menunjukkan kelebihan-kelebihan dalam diri dengan cara-cara yang berlebihan.
Penyebab kelebihan pembicaraan juga adalah adanya sikap ingin menunjukkan kepada orang lain tentang sesuatu yang sebenarnya tidak pantas untuk ditunjukkan. Terkadang kita sering berbicara kepada orang tentang sesuatu yang sebenarnya orang lain tidak berkepentingan dengan hal itu.
Lidah kita gatal untuk menceritakannya pada orang lain. Al-Quran menyebutkan, ”Tidak ada kebaikan pada banyaknya suatu obrolan kecuali dalam perbincangan itu ada perintah untuk bersedekah, berbuat baik, atau perintah untuk mendamaikan sesama manusia.” (QS Al-Nisa: 114)
Kejahatan ketiga adalah mengobrol tentang hal-hal yang batil. Kelak di hari akhirat nanti, terjadi perbincangan antara para penghuni surga dan para penghuni neraka.
Ahli surga bertanya kepada ahli neraka, “Apa yang menyebabkan kamu masuk ke neraka?” Para ahli neraka menjawab, “Dahulu kami tidak pernah melakukan salat, tidak memberi makan kepada orang miskin, dan kami biasa mengobrolkan hal-hal yang batil dengan orang-orang yang membicarakannya.” (QS. Al-Mudatsir: 42-45).
Kejahatan lidah yang keempat adalah berdebat secara berlebihan. Debat memang berguna bagi murid yang sedang belajar. Tetapi bagi seorang alim, debat adalah sesuatu yang harus ia hindari.
Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, walaupun perdebatan itu benar, maka Tuhan akan berikan kepadanya tempat paling tinggi di surga."
Dalam hadits lain dikatakan, ''Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan yang batil, Tuhan akan bangunkan baginya rumah di taman-taman surga.”
Kejahatan lidah yang kelima adalah perkataan yang di dalamnya terkandung unsur permusuhan, kedengkian, menyakitkan, serta menjatuhkan harga diri orang lain.
Banyak sekali diriwayatkan, Rasulullah SAW sering memperingatkan orang yang mengecam para sahabat Nabi. Nabi SAW pernah bersabda, ”Janganlah kau kecam sahabat-sahabatku.”
Kejahatan keenam adalah melebih-lebihkan pembicaraan untuk menunjukkan kefasihan dalam berbicara. Nabi saw pernah bersaba, ”Sejelek-jeleknya umatku ialah orang yang di pagi harinya banyak memperoleh kenikmatan, lalu ia makan dan berpakaian secara berlebihan, dan ia banyak melebih-lebihkan pembicaraannya.”
Kejahatan lidah yang ketujuh adalah lidah yang sering mengucapkan kata-kata kotor. Rasulullah saw bersabda, ”Bukanlah seorang mukmin orang yang kata-katanya kotor, kasar, menusuk, dan melaknat.”
Di sisi lain, Islam memuji orang-orang yang berkata jujur dan apa adanya, seperti Abu Dzar Al-Ghifari. Rasulullah saw bersabda, “Di bawah kolong langit ini, di atas bumi yang hijau ini, tidak ada lidah yang lebih jujur daripada lidah Abu Dzar.”
Abu Dzar juga pernah ditegur Rasulullah SAW karena terlalu jujur dalam berkata. Suatu saat, Abu Dzar bertengkar dengan sahabat Amar bin Yasir. Amar adalah orang yang berkulit hitam karena ada garis keturunan dari ibunya yang berkulit hitam.
Ketika bertengkar, Abu Dzar berkata kepada Amar, “Hai, anak perempuan berkulit hitam!” Rasulullah SAW mendengar hal itu. Ia menegur Abu Dzar, “Celakalah kamu, Abu Dzar! Tidak ada kelebihan orang berkulit putih di atas orang berkulit hitam; (tidak ada kelebihan) orang Arab di atas orang ‘Ajam.”
Mendengar ucapan Rasulullah SAW tersebut, Abu Dzar langsung merebahkan tubuhnya. Ia meletakkan pipinya di atas tanah lalu memerintahkan Amar untuk menginjak kepalanya sebagai tebusan ucapannya tadi.
Kejahatan lidah yang kedelapan adalah melaknat. Tsabit bin AdlDlahhak radhiallahu ’anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya.’ ” (HR. Bukhari)
Kejahatan yang kesembilan adalah lebih banyak bernyanyi daripada membaca Al-Quran. Al-Ghazali menyebutkan ada nyanyian-nyanyian yang diperbolehkan dalam Islam. Tapi sebagian besar nyanyian itu tidak bermanfaat dan melalaikan kita dari Allah SWT.
Nyanyian yang baik adalah nyanyian yang di dalamnya ada ungkapan-ungkapan kerinduan kepada Allah dan terkandung pujian-pujian untuk Allah SWT. Salah satu praktek yang harus ditempuh para sufi dalam perjalanan mereka mendekati Tuhan disebut dengan Al-Shumt.
Dalam praktek ini, seorang sufi berusaha mengendalikan lidahnya dengan membiasakan diri untuk banyak diam dan mengurangi pembicaraan. Suatu ketika Rasulullah ditanya sahabat, apa penyebab terbesar orang masuk neraka. Kemudian dijawab karena lidah dan kemaluannya (HR Turmuzi).